Efek elpiji 'mini' ke Pertamina, besar ke publik



JAKARTA. Tidak seperti biasanya, Rudi, salah satu pegawai swasta di Jakarta ini pagi-pagi sudah mampir ke agen penjual gas. Biasanya, jika butuh gas ia hanya memesan melalui telepon.

Rupanya Rudi punya niat lain. Ia sengaja datang langsung karena ingin menukarkan tabung gas 12 kg miliknya dengan tabung gas 3 kg. “Dulu bilangnya konversi minyak tanah ke gas supaya biaya lebih murah. Tapi makin kesini harganya kok naik terus,” ujar pria yang sudah menggunakan gas 12 kg selama 12 tahun itu.

Itu sebabnya ia kini memilih memakai gas ukuran 3 kg yang harganya lebih murah dan stabil. “Lumayan, satu tabung biru ditukar dapat dua tabung hijau,”  katanya pria yang tinggal di daerah penunjang Jakarta itu.


Apa yang dilakukan Rudi ini juga banyak dilakoni oleh banyak rumah tangga lainnya. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah dan kota lainnya.

Pasalnya, dengan penggunaan elpiji 12 kg yang habis antara satu bulan hingga 1,5 bulan, akan ada pengeluaran tambahan Rp 47.000 per bulan atau Rp 1.566 per hari.

Kenaikan harga gas elpiji 12 kg juga membuat pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) kelabakan.

Sebab, kenaikan itu mengerek biaya operasional mereka sehingga mempengaruhi harga produk yang mereka jual.

Herry Gunawan, pemilik Resto Cabe Ulek mengaku segera menaikkan harga jual mengikuti kenaikan harga elpiji 12 kg. Herry mengaku, sebenarnya tak ingin menaikkan harga jual. Namun, dengan kenaikan elpiji 12 kg, ia pun terpaksa menaikkan harga jual bila tak ingin rugi.

 “Sekarang saya masih menunggu kondisi sampai satu bulan ke depan,” katanya.

Resto ini menawarkan  sekitar 70 menu masakan Sunda. Harga jualnya bervariasi mulai Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per porsi.

Anto W Kusumo, pemilik Bella Fried Chicken juga merasakan hal yang sama. Meski bukan pengguna gas elpiji 12 kg, dia mengaku tetap terkena dampaknya.

Laki-laki yang akrab disapa Anto ini mengaku, kenaikan harga elpiji 12 kg ikut mengerek naik harga elpiji ukuran 3 kg. “Naiknya tidak banyak sekitar Rp 500 per tabung,” katanya.

Sehari-hari, Anto hanya menggunakan elpiji ukuran 3 kg karena menjual ayam goreng secara gerobakan. Dalam sehari dia bisa menghabiskan sekitar 1 kg hingga 2 kg gas elpiji. Bila dikalkulasi, dalam sebulan dia bisa menghabiskan sekitar 30 kg sampai 60 kg gas elpiji.

Namun, kendati harga elpiji naik ia belum berencana menaikkan harga jual. Ia khawatir bila harga jual produknya naik, konsumen akan komplain. Ia pun terpaksa menahan harga kendati margin tergerus.

Saat ini, Anto menghargai ayam gorengnya mulai Rp 6.000 hingga Rp 8.000 per porsi. Dalam sebulan, dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 15 juta.

Setelah dikurangi biaya bahan baku dan operasional, keuntungan bersih yang didapatkannya sekitar 30% dari omzet. Namun, akibat kenaikan harga elpiji, keuntungan bersihnya dipastikan turun. 

Supaya marginnya tidak semakin tertekan, kini ia mulai berburu supplier elpiji yang menawarkan harga murah.

Fajrul, pemilik Soto Betawi Bang Fajrul juga terkena dampak kenaikan harga elpiji 12 kg. Sama seperti Anto, ia juga memakai elpiji ukuran 3 kg. Nah, sejak beberapa hari terakhir, harga elpiji 3 kg juga mengalami kenaikan.

Kenaikan itu buntut dari naiknya harga elpiji 12 kg. “Mau tidak mau saya naikkan harganya karena kemarin laba saya sudah turun 25%–30% per harinya,” ujarnya.

Kini Fajrul membanderol harga sotonya menjadi Rp 20.000 per mangkok. Sebelumnya harga jual sotonya masih Rp 18.000 per mangkok. Ia mengakui, kenaikan harga jual ini membuat konsumennya sedikit turun karena daya beli menjadi berkurang. "Yang bertahan paling langganan,” ujarnya.

Risiko diklaim kecil

Berdasarkan hitungan Pertamina, harga gas elpiji idealnya mencapai Rp 12.100 per kg. Namun Pertamina menjual elpiji ke konsumen hanya Rp 6.100 per kg. Itu sebabnya meski menaikkan harga Rp 1.500 per kg, Pertamina mengklaim masih “mensubsidi” pengguna elpiji 12 kg.

Di sisi lain, dengan kenaikan sebesar Rp 1.500 per kg itu, hanya akan menekan kerugian Pertamina sebesar Rp 80 miliar per bulan. Padahal tujuan menaikkan harga elpiji ini untuk mengurangi kerugian Pertamina dari penjualan elpiji yang sangat besar.

Misalnya saja pada semester I 2014 Pertamina rugi Rp 2,81 triliun dari penjualan elpiji 12 kg. Bahkan, selama 2013, kerugian Pertamina dari jualan elpiji 12 kg mencapai Rp 5, 7 triliun.

Nah, jika tahun ini tidak di naikkan, kerugian yang bakal diderita Pertamina bakal lebih besar dari tahun lalu.

Banyak yang menilai, penambahan pemasukan bagi Pertamina yang hanya sebesar Rp 80 miliar itu tidak sepadan dengan efek yang akan ditimbulkan. Kenaikan semua jenis energi ini, sudah pasti akan berefek ganda. Yakni kenaikan harga pangan, barang dan jasa.

Namun Menteri koordinator bidang perekonomian Chaerul Tanjung bilang, setiap kenaikan harga elpiji 12 kilo sebesar Rp 1.000, inflasi yang ditimbulkannya hanya 0,06% saja. "Jangan khawatir, karena inflasinya tidak terlalu signifikan," ujar Chaerul, Selasa (9/9) lalu.

Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo pun mengungkapkan jika ada kenaikan harga elpiji, dampak terhadap inflasinya masih terkendali. "Kalau seandainya ada kenaikan (harga) elpiji, itu sudah masuk pertimbangan kita. Kami melihat inflasi Indonesia 4,5 plus minus 1% (pada tahun 2014)," ujarnya.

Namun seperti diungkapkan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Suryo Bambang Sulisto, selain berdampak pada masyarakat sebagai pengguna langsung, naiknya harga gas juga akan membuat biaya industri naik. Industri yang paling terasa terkena dampak dari kebijakan itu adalah salah satunya industri makanan.

Namun Ketua Umum KADIN, Suryo Bambang Sulisto memprediksi, sektor industri pasti akan mampu bertahan dari kenaikan tersebut. Sebab sektor industri adalah sektor yang fleksibel dan mampu menyesuaikan. "Pasti naik biaya industri. Tapi kalau bisa dikelola secara baik, industri bisa menyesuaikan," kata dia.

Ali Mundakir, Vice President Corporate Communication Pertamina mengatakan, kenaikan Elpiji 12 kg ini sesuai dengan roadmap setiap 6 bulan sekali, mulai awal tahun ini hingga 2016. 

“Kenaikan dilakukan hingga Elpiji 12 kg mencapai keekonomian. Kenaikan harga elpiji di kisaran Rp 1.000 - Rp 2.000 per kg,” kata Ali beberapa waktu lalu.

Rata-Rata Harga LPG 12 Kg (dalam rupiah)

Periode  Harga  Harga/Tabung  Perubahan
 2005-2007  4.250 kg  51.000  
 2008  5.250 kg  63.000  23,53%
 Agustus 2009  5.750 kg  69.000  9,52%
 Okt 2009-31 Des 2013  5.850 kg  70.200  1,74%
 1 Jan 2014  9.809 kg  117.708  67,68%
 7 Jan 2014  6.850 kg  82.200  -30,17%
Kerugian Pertamina dari Penjualan Gas Elpiji 12 Kg (Rp triliun)

2009 Rp 1,1 triliun
 2010  Rp 2,1 triliun
 2011  Rp 3 triliun
 2012  Rp 5,1 triliun
 2013  Rp 5, 7 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan