Efek ke inflasi mini, tapi menggerus daya beli



JAKARTA. Mulai Kamis, 5 Januari 2016, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax, Pertalite, dan Dexlite naik Rp 300 per liter. Dalam jangka pendek, efek kenaikan harga BBM belum berdampak di inflasi Januari 2017.

Efek kenaikan harga BBM itu diperkirakan baru akan terasa pada bulan Maret 2017-April 2017.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo menghitung, efek kenaikan harga BBM non-subsidi itu kurang dari 0,01%.


“Kalau harga BBM non subsidi naik 4% dampak ke inflasi sekitar 0,008% atau dibulatkan 0,01%,” katanya ke KONTAN, Kamis (5/1).

Inflasi awal tahun ini juga berpotensi kian besar seiring kebijakan pemerintah mencabut subsidi pelanggan listrik 900 Volt Ampere (VA). Pencabutan subsidi dilakukan mulai 1 Januari.

Pemerintah juga sudah menerapkan penyesuaian tarif listrik tahap I bagi 18,9 juta pelanggan 900 VA dari Rp 605/kWh menjadi Rp 791/kWh.

Menurut Sasmito, kenaikan tarif listrik tidak akan berpengaruh besar inflasi Januari 2017. Dia memprediksi, inflasi akibat tarif listrik akan negatif di Januari 2017. Turunnya tarif prabayar pelanggan 1.300 VA ke atas sebesar 8,20%, walau tarif listrik pascabayar naik 0,75%.

“Sangat tipis di bawah minus 0,01%,” katanya. Sasmito bilang, andil tarif listrik ke inflasi biasanya 2,5% sampai 2,8%, di bawah beras.

Kepala BPS Suhariyanto bilang, mayoritas masyarakat Indonesia masih menggunakan listrik pascabayar, sehingga belum akan berpengaruh di Januari. "Kemungkinan ada pengaruhnya di Maret atau April 2017, tapi tidak terlalu besar. Harapan kami masih sekitar 0,05%," ujarnya.

Catatan BPS, jumlah masyarakat pengguna listrik pascabayar sampai saat ini mencapai 71%, sedang yang menggunakan listrik prabayar atau token sebanyak 29%. Selain menghadapi kenaikan harga BBM, tarif listrik, beban masyarakat di awal tahun ini semakin bertambah dengan kenaikan cukai rokok dan tarif layanan publik.

Namun, menurut Sasmito, selama ini, penjual rokok sudah melakukan antisipasi dengan menaikkan harga rokok gradual. “Kalau naik Rp 1.000 per bungkus atau sekitar 5%, andil inflasi sekitar 0,2%,” katanya.

Menggerus daya beli

Kenaikan tarif layanan publik seperti pada layanan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) di kepolisian juga tidak banyak berimbas ke inflasi.

"Rumah tangga Indonesia rata-rata menyediakan budget untuk urusan surat mobil atau motor sekitar 0,22% dari total pengeluarannya. Apalagi urusan STNK setahun sekali,” ujar Sasmito.

Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistyaningsih bilang, walau kenaikan inflasi tidak tinggi, namun realisasi di masyarakat kenaikan harga dan tarif kebutuhan tersebut akan menurunkan daya beli.

“Walau tidak tercermin pada inflasi namun pada realisasinya daya beli masyarakat akan menurun. Apalagi BBM jenis Premium semakin jarang di SPBU,” katanya.

Menurut Lana, jika hanya melihat inflasi, efek kenaikan harga dan tarif tersebut belum akan signifikan di Januari 2017. Sebab, untuk tarif BBM, dalam Indeks Harga Konsumen (IHK) belum memasukkan harga Pertalite.

Saat ini, penghitungan IHK oleh BPS hanya memasukkan BBM Premium, sehingga jika harga Premium tidak naik maka tidak berpengaruh pada angka inflasi versi BPS. Kenaikan tarif listrik memiliki dampak terhadap daya beli, meski bobot IHK-nya kecil.

“Daya beli pasti kena walaupun IHK-nya cuma 3,5% atau 4%,” ujarnya. Kenaikan beberapa tarif ini tidak akan membuat inflasi melonjak seperti 2014 selepas pemerintah menaikkan harga BBM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie