Efek kenaikan bunga The Fed ke rupiah tak besar



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Usai menaikkan suku bunga acuannya di Maret dan Juli lalu menjadi 1%–1,25%, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) diperkirakan akan menaikkan lagi bunga acuannya di Desember mendatang. Bank Indonesia (BI) yakin dampaknya kenaikan suku bunga The Fed terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan relatif kecil, karena sudah diperhitungkan oleh pelaku usaha.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menjelaskan, kenaikan suku bunga The Fed sudah diperhitungkan oleh pelaku pasar, seperti sebagaimana dua kali kenaikan sebelumnya. Walhasil, dampaknya terhadap pelemahan nilai tukar negara emerging tidak besar. "Kalau toh ada pelemahan, maka BI akan tetap jaga agar pelemahan tersebut masih dalam batas sesuai dengan nilai fundamentalnya," kata Dody kepada KONTAN.

Dody mengatakan, risiko nilai tukar yang berasal dari tingginya utang luar negeri (ULN) swasta juga relatif terjaga. Sebab pengutang alias debitur korporasi non bank wajib telah memenuhi ketentuan rasio lindung nilai (hedging) selain memenuhi ketentuan rasio likuiditas dan minimal rating BB-.


BI mencatat, posisi ULN swasta hingga akhir Agustus 2017 mencapai US$ 165,6 miliar, naik 0,1% year on year (YoY) dan naik tipis dari akhir bulan sebelumnya yang sebesar US$ 165,49 miliar. Secara keseluruhan, ULN Indonesia periode tersebut sebesar US$ 340,54 miliar, naik 4,71% yoy.

Sudah hedging

Direktur Eksekutif Departemen Statistik BI Yati Kurniati mengatakan, tingkat kepatuhan korporasi dalam memenuhi rasio hedging hingga kuartal kedua tahun ini cukup baik. Jumlah korporasi yang memenuhi rasio hedging 0-3 bulan mencapai 89% dan yang memenuhi rasio hedging 3-6 bulan mencapai 94%. "Nilai hedging 0–3 bulan US$ 4,8 miliar dan 3–6 US$ 1,5 miliar," terang Yati kepada KONTAN.

Risiko semakin kecil karena debitur perbankan juga memiliki peraturan pinjaman luar negeri bank yang akan memitigasi risiko, termasuk risiko nilai tukar. Begitu juga untuk debitur BUMN yang harus mendapatkan persetujuan tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) dari beberapa kementerian. "Maka sewajarnya utang luar negeri swasta yang terproteksi tidak akan memberi tekanan pada rupiah secara berlebihan," jelas Yati.

Ekonom SKHA Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menganalisa, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS akan memperbesar outstanding ULN swasta. Namun berkaca pada data BI bahwa pemenuhan kewajiban rasio lindung nilai ULN swasta sudah cukup baik, maka efek dari pelemahan rupiah ke utang diperkirakan tidak akan besar.

Namun Eric mengingatkan, tekanan rupiah bisa jadi cukup besar jika kenaikan Fed Fund Rate (FFR) tersebut dibarengi dengan kenaikan suku bunga bank sentral utama lainnya. Termasuk juga jika ada peningkatan risiko geopolitik di Timur Tengah, Korea atau Spanyol. Namun, risiko kedua tersebut cukup kecil terjadinya. "Proyeksi saya nilai tukar rupiah di kisaran Rp 13.400–Rp 13.500 per dollar AS per akhir tahun 2017," tambah Eric saat dihubungi KONTAN.

Seperti diketahui kenaikan bunga acuan The Fed tahun ini pertama kali terjadi pada 15 Maret 2017. Jika awal Maret, kurs rupiah di level Rp 13.364 per dollar AS berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) dan melemah ke level Rp 13.375 per dollar AS. Kurs rupiah kembali menguat ke level Rp 13.321 per dollar AS di 31 Maret 2017.

Bunga acuan The Fed kembali naik di 15 Juni 2017. Saat itu, kurs rupiah malah berada di level Rp 13.282 per dollar AS pada dan sedikit melemah ke level Rp 13.298 per dollar AS keesokan harinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini