Efek krisis finansial ke perbankan tak signifikan



JAKARTA. Meski penyelesaian krisis di Eropa masih berlarut-larut, namun dampak bagi perbankan domestik belum terlalu signifikan. Bisnis bank di Tanah Air bahkan tumbuh kencang.

Berdasarkan data sementara Bank Indonesia (BI) hingga pekan kedua Juni 2012, kredit tumbuh 28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya atau year on year (yoy). Pertumbuhan ini lebih tinggi ketimbang rencana bisnis bank (RBB) tahun 2012 sebesar 24%. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya overheating di ekonomi.

Realisasi kredit tahun ini memang anomali. Sejak awal tahun kredit mengalir deras, padahal biasanya melambat. Pada April 2012, kredit sudah meningkat 25,7% (yoy) menjadi Rp 2.334,21 triliun. Pertumbuhan tertinggi di kredit investasi mencapai Rp 475,75 triliun atau tumbuh 28,8%, kredit modal kerja sebesar Rp 1.058,57 triliun atau tumbuh 27,7% dan konsumsi Rp 668,72 triliun, meningkat 20,5%.


Deputi Gubernur BI Muliaman Dharmansyah Hadad mengatakan pertumbuhan kredit masih didominasi kredit produktif dengan kualitas baik. "Per April kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) 17,88%, bandingkan dengan Desember 16,05%. Modal yang kuat menandakan perbankan aman," kata Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terpilih itu, Kamis (21/6).

Mengenai dampak krisis Eropa, kata Muliaman, perbankan masih aman karena pondasinya kuat dan eksposur ke negara pusat krisis sangat kecil. Total eksposur perbankan ke Eropa hanya Rp 150 triliun dari Rp 3.000 triliun aset perbankan. "Kalau ada yang salah pada ekonomi global, perbankan nasional masih kuat," tegasnya.

Direktur Business Banking BNI, Krishna R Suparto, mengakui permintaan kredit tergolong tinggi. Contohnya, penyaluran kredit korporasi BNI sudah sudah mendekati Rp 5 triliun. "Kami hanya membiayai kredit valas bagi perusahaan yang berpendapatan dalam dollar," ujarnya.

Krisna melanjutkan, meski permintaan kredit tinggi, tetapi pertumbuhan kredit BNI belum melampaui target. Tahun ini BNI menargetkan pertumbuhan kredit sebesar 18%-20%. Untuk menjaga likuiditas rupiah, manajemen mengandalkan dana pihak ketiga (DPK), transactional banking dan cash management untuk menarik dana-dana institusi. Untuk valas BNI berusaha menjaga pasokannya.

Pengamat Perbankan, Mohammad Doddy Arifianto, mengatakan tingginya pertumbuhan kredit karena adanya pengalihan permintaan ke domestik. Maklum ekspor Indonesia sedang lesu seiring berkurangnya permintaan barang dari luar negeri. "Bank berusaha menjaga pertumbuhan dengan memberikan kredit investasi," ujarnya.

Doddy menambahkan, pertumbuhan kredit sebesar 28% sangat tinggi. Bila dalam tiga bulan ke depan pertumbuhan masih tinggi, sebaiknya BI meningkatkan pengawasan pada penyaluran kredit. Sebab, saat ini rasio intermediasi (LDR) sudah 81%. Artinya likuiditas semakin berkurang. "Bila tren ini berlanjut ada baiknya pertumbuhan kredit direm. Overheating ekonomi terjadi bila kredit tumbuh diatas 30%," tambahnya. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: