JAKARTA. Tantangan orangtua di era digital ini bertambah: menjadikan anak mereka mampu mengikuti kemajuan teknologi, sekaligus mencegahnya tidak sampai kecanduan. Keluhan orangtua akan sulitnya memisahkan anak-anak mereka dari gawai sudah sering kita dengar dalam berbagai perbincangan. Anak-anak di perkotaan memang semakin sering terlihat memakai telepon pintar, tablet, pemutar musik, atau laptop, untuk bermain. Mereka tampak anteng dalam "asuhan" gawai. Psikolog Astrid Wen menjelaskan, ketika anak, terutama di usia dini, menghabiskan sebagian besar waktunya bermain gawai, sebenarnya mereka sudah mengorbankan aktivitas lainnya.
"Pada anak balita, mereka jadi kehilangan waktu untuk eksplorasi sekitarnya. Waktu untuk berinteraksi secara nyata dengan orang-orang di sekitarnya juga berkurang. Padahal, mereka butuh mengobservasi, mengamati dunia di sekelilingnya," kata Astrid. Selain itu, waktu beristirahat, mengembangkan kemampuan berpikirnya, dan mengekspresikan dirinya juga dicuri oleh keasyikannya menatap layar gawai. "Tahu dari mana jika frekuensi bermain anak sudah berlebihan? Kalau anak merasa marah saat aktivitasnya main gawai diinterupsi, menarik diri dari orang lain, dan sembunyi-sembunyi untuk main gawai," ungkap psikolog yang menjadi inisitaor Theraplay Indonesia ini. Kecanduan bermain gawai itu berpengaruh bukan hanya pada fisik anak, tapi juga perkembangan emosionalnya. "Regulasi diri anak jadi berantakan. Sejak kecil anak butuh keteraturan hidup agar kelak ia bisa mengatur hidupnya. Anak juga kehilangan rasa empati karena tidak aware dengan dirinya sendiri saat asyik dengan gawai," paparnya. Dampaknya juga akan terasa di masa depan. Misalnya saja anak tumbuh menjadi orang yang impulsif dan tidak bisa mengontrol diri. Ia juga akan memandang dunia berdasarkan dunia maya, dan menjadi tidak terbiasa bersosialisasi. "Kegiatan bermain gawai telah mereduksi makna dan tujuan hidup yang nyata. Anak pun bisa tumbuh menjadi orang yang kesepian dan mengalami kecemasan," katanya. Itu belum termasuk dampak buruk dari pengaruh kekerasan atau pornografi dari kebiasaannya mengakses internet. Walau aplikasi yang digunakan cocok untuk anak, terkadang muncul iklan yang tak tak sesuai dengan usia anak. Tentu sebagai orangtua kita tidak ingin kecanggihan teknologi menghambat kemampuan anak. Ada banyak hal yang bisa dilakukan orangtua. "Kita memang tidak bisa mensterilkan anak dari gawai, tapi ajak anak belajar mengontrol dirinya," kata Astrid. Astrid menyarankan agar orangtua membuat batasan tegas waktu menggunakan gawai. Untuk anak usia kurang dari dua tahun, sebaiknya tak perlu memperkenalkan pada teknologi canggih ini. Untuk anak yang lebih besar, buat aturan yang realistis, misalnya tidak main gawai saat makan, sebelum tidur, atau main hanya boleh selama 30 menit. "Orangtua perlu berkomunikasi dengan anak dan mendampingi anak saat bermain gawai," ujarnya.
Orangtua juga seharusnya kreatif mencari alternatif kegiatan atau permainan lain untuk dilakukan bersama anak. "Informasi yang ia dapatkan dari gawai kita tarik ke dunia nyata, misalnya menempelkan stiker bertema kartun favoritnya," ujarnya. Anak di usia dini membutuhkan pengalaman yang riil. Karenanya, perbanyak kegiatan yang melibatkan interaksi langsung dengan orang sekitar. "Anak belajar paling baik dari hubungan dan interaksi sosial secara nyata," katanya. (Lusia Kus Anna) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto