Efek penurunan harga gas tak terasa



JAKARTA. Meskipun harga gas bakal turun, produsen industri pupuk, baja dan petrokimia, tidak bisa memastikan penurunan harga jual. Namun paling tidak, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sudah menetapkan, harga gas ketiga sektor industri itu maksimal US$ 6 per mmbtu.

Hadi Sutjipto, Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST) bilang, dengan penurunan harga gas tersebut setidaknya GDST bisa menurunkan beban biaya produksi antara 8%-9%. Hal tersebut dirasa cukup membantu menurunkan biaya produksi. Tetapi. "Penurunan harga gas tidak berpengaruh terhadap harga jual baja kami," katanya, saat dihubungi KONTAN, Kamis (24/11). Selama ini, GDST membeli harga gas pada Perusahaan Gas Negara (PGN) mencapai US$ 9 per mmbtu. 

Fajar Budiono Sekjen Asosiasi Industri Aromatika, olefin dan plastik (Inaplas), mengatakan, penurunan harga gas tersebut cukup berpengaruh pada beban biaya produksi industri petrokimia. "Kami bisa saving sekitar 5% dengan penurunan harga gas tersebut," ujar Fajar, kepada KONTAN, Kamis (24/11).


Sebelumnya industri petrokimia sendiri membeli gas dengan harga kisaran US$ 8,5-10,5 per mmbtu dari Perusahaan Gas Negara (PGN) dan Pertamina. Maka itu harga gas yang turun diharapkan bisa menambah kapasitas produksi maupun utilisasi pabrik. Meski dapat menekan biaya hingga 5% , tidak berpengaruh pada harga jual produk petrokimia. "Karena kami mengikuti harga jual rupiah, bagaimana pasar global saja," ucapnya.

Tahun ini industri petrokimia tumbuh 5,2% dibandingkan tahun lalu. Dengan penurunan harga gas ini juga menurut Fajar, dapat mengurangi impor yang masih mencapai 55%, dan tentu ke depan industri petrokimia lokal dapat bersaing dengan produk impor.

Adapun produksi nasional petrokimia mencapai 2,4 juta ton pertahun dan tahun 2020 mendatang dengan harga gas yang turun, bisa menambah kapasitas produksi tersebut. Saat ini rata-rata harga jual produk petrokimia berbahan baku plastik mencapai US$ 1.250 per ton. 

Lain hal dengan PT Pupuk Sriwijaya juga belum bisa merasakan pengaruh yang besar dengan penetapan harga gas tersebut. Hairul Rizano, General Manager Pemasaran Pupuk Sriwijaya, mengatakan, efek penurunan harga gas tidak berpengaruh pada produksi pupuk Sriwijaya.

Sebelumnya, Pupuk Sriwijaya membeli gas pada PGN dan Pertamina dengan harga US$ 6,5 per mmbtu. Sehingga kalau harga gas maksimal mencapai US$ 6, tidak berpengaruh signifikan. "Kalau harga maksimal US$ 6 per mmbtu penurunan biaya produksi 0,5%, tidak berpengaruh pada kami," katanya, kepada KONTAN, Kamis (24/11).

Maklum, produksi pupuk sangat ketergantungan pada gas. Pupuk Sriwijaya sendiri membutuhkan gas sekitar 70%. "Kalau turun di bawah US$ 5 mmbtu, kami baru bisa merasakan," ucap Hairul.

Saat ini Pupuk Sriwijaya memproduksi 2 juta ton pupuk pertahun. Dan di November ini sudah tercapai 1,7 juta ton. Selain harga gas yang turun belum maksimal, ada lagi yang menyebabkan pupuk lokal sulit bersaing di pasar, yakni produk impor menawarkan harga murah. "Padahal kualitasnya sangat jauh dengan produk lokal, lebih bagus lokal," kata Hairul 

Hitungannya, harga gas yang masih dianggap melambung tinggi tersebut membuat pendapatan turun 10% di tahun ini. Untuk itu, dengan beroperasinya pabrik baru di Palembang, Pupuk Sriwijaya berharap mampu mendongkrak penjualan, dengan menambah kapasitas produksi. Pabrik baru tersebut berkapasitas 800.000-900.000 ton pertahun, sehingga tahun 2017 mendatang Pusri akan meningkatkan kapasitas 2,5 juta ton pertahun dari sebelumnya 2 juta ton per tahun.        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini