Kebijakan Presiden AS Donald Trump yang cenderung proteksionis telah mengubah pola perekonomian dunia. Salah satu kebijakannya adalah meningkatkan restriksi impor untuk menekan defisit perdagangan, khususnya dengan Tiongkok. Tiongkok menjadi sasaran utama proteksi perdagangan AS karena defisit neraca perdagangan AS dengan Tiongkok sangat besar. Defisit perdagangan AS dengan Tiongkok meningkat dari US$ 371,8 miliar pada 2016 menjadi US$ 395,8 miliar pada 2017. AS telah mengenakan bea masuk impor 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium, pengenaan tarif tambahan 25% untuk produk teknologi asal Tiongkok dan pengenaan ekstra tarif impor bagi produk Tiongkok sebesar US$ 100 miliar. Beberapa produk Tiongkok yang termasuk dalam pengenaan tarif adalah produk industri teknologi dan mesin-mesin.
Di sisi lain, Tiongkok membalas kebijakan proteksionis itu dengan menambahkan tarif impor terhadap 128 produk AS senilai US$ 3 miliar dengan rincian 120 produk AS terkena ekstra tarif 15% dan 8 produk AS terkena ekstra tarif 25%. Selanjutnya, Tiongkok menambahkan tarif untuk 106 produk impor dari AS senilai US$ 50 miliar. Beberapa produk AS yang termasuk dalam pengenaan tarif itu adalah babi, kedelai, dan kendaraan bermotor. Tentu perang dagang AS-Tiongkok tidak hanya merugikan kedua negara tersebut, namun juga berdampak ke negara lain, termasuk Indonesia. AS dan Tiongkok merupakan negara eksportir terbesar di dunia. Total ekspor AS dan Tiongkok terhadap total ekspor dunia mencapai 21,7% pada 2017. Perang dagang AS-Tiongkok bisa menjadi peluang dan tantangan bagi kinerja perdagangan Indonesia. Kita dapat memanfaatkan peluang pasar untuk produk ekspor nasional di pasar AS dan Tiongkok akibat perang dagang kedua negara tersebut. Pada 2017, ekspor Tiongkok ke AS terbanyak adalah mesin-mesin, furnitur, produk mainan, pakaian dan plastik. Apabila AS menghambat perdagangan untuk produk top 10 ekspor Tiongkok tersebut, maka memberi peluang bagi produk ekspor Indonesia ke pasar AS. Produk ekspor yang dapat memanfaatkan peluang pasar AS terutama tekstil dan alas kaki. Sementara itu, ekspor AS ke Tiongkok terbanyak adalah pesawat, kendaraan, biji-bijian (soybean), mesin-mesin, barang dari kayu dan plastik. Apabila Tiongkok menghambat perdagangan untuk produk top 10 ekspor AS, maka membuka peluang bagi produk ekspor Indonesia ke pasar Tiongkok. Produk ekspor yang dapat memanfaatkan peluang pasar Tiongkok terutama produk CPO. Selain memberi peluang, perang dagang AS-Tiongkok dapat juga menjadi tantangan bagi kinerja perdagangan Indonesia. AS dan Tiongkok akan mencari pasar baru untuk produk ekspornya. Hal itu tentu saja berpotensi meningkatkan impor dari Tiongkok dan AS di beberapa negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, impor produk mesin, kedelai, kayu dan plastik dari AS dan impor mesin, besi dan baja dari Tiongkok berpotensi meningkat dengan harga murah.
Selain itu, AS mulai mereview kelayakan Indonesia sebagai penerima fasilitas Generalized System of Preferences (GSP). Program GSP merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberikan manfaat pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor dari negara yang memperoleh manfaat GSP. Proses review ini dijadwalkan berlangsung hingga akhir 2018. Pada 2017, Indonesia masih memperoleh manfaat GSP AS dalam kategori A yang memberikan pemotongan tarif bea masuk di AS untuk 3.704 produk. Sebesar 4% dari total ekspor Indonesia ke AS yang memperoleh fasilitas GSP pada 2017. Produk ekspor Indonesia yang memperoleh GSP antara lain produk aluminium, produk kayu dan baterai. Pencabutan produk ekspor Indonesia dari GSP tentu akan berdampak bagi neraca perdagangan Indonesia-AS. Pada 2017 Indonesia menikmati surplus perdagangan dengan AS sebesar US$ 9,7 miliar. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengantisipasi dampak perang dagang AS vs Tiongkok dan pencabutan fasilitas GSP untuk Indonesia. Perang dagang AS vs Tiongkok akan berdampak tak langsung terhadap neraca perdagangan Indonesia, sementara pencabutan GSP berdampak langsung. Pemerintah diharapkan dapat membantu pelaku usaha sehingga Indonesia dapat merebut peluang pasar ekspor terutama di AS dan Tiongkok. Selain itu, pemerintah perlu melakukan pendekatan ke pemerintah AS agar produk ekspor Indonesia tetap masuk dalam GSP.•
Mamay Sukaesih Analis Industri dan Regional Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi