KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 100% kepada negara-negara yang gencar melakukan dedolarisasi. Untuk diketahui, dedolarisasi merupakan suatu usaha untuk mengurangi penggunaan mata uang dolar AS dalam transaksi perdagangan. Kendati demikian, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo menilai, upaya dedolarisasi yang saat ini gencar dilakukan banyak negara termasuk anggota BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan), pun dengan beberapa perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China dan Korea.
Kendati demikian, Banjaran melihat upaya dedolarisasi tersebut masih minim untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. “Saya melihat efek deterrence-nya terbatas, malah dolar AS cenderung menguat dengan volatilitas lebih tinggi di atas normal movement,” tutur Banjaran kepada Kontan, Selasa (3/12). Baca Juga: Trump Ancam Negara yang Gencar Dedolarisasi, Ekonom: Penggunaan Dolar AS Marak Ia membicarakan beberapa faktor yang menyebabkan dolar AS tetap kuat, di antaranya, pertama, investasi berjalan melalui financial market masih predominantly dolar AS denominasi. “Dollar drive other economy saat dolar AS strong menarik likuiditas dolar ke Amerika selama beberapa tahun ini. Jadi pergerakan modal yang masih difasilitasi dolar masih menjaga dolar AS,” ungkapnya. Kedua, tingginya volatilitas malah memberikan indikasi relativitas di pasar, yang mana semakin jarang digunakan, maka buy sell exchange-nya akan menimbulkan dampak volatilitas lebih tinggi. Banjaran bahkan meramal indeks dolar AS (DXY) akan menguat menjadi 107, atau pada kisaran 103-110. Sejalan dengan dolar AS yang menguat, nilai tukar rupiah justru diperkirakan melemah pada kisaran Rp 15.600-Rp 16.200 per dolar AS.