Ekonom: Ada risiko hiperinflasi akibat kebijakan Quantitative Easing BI



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan moneter dengan melakukan Quantitative Easing (QE) saat ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak ditengah pandemi virus Corona (Covid-19). Pasalnya, negara-negara maju yang percaya diri melakukan QE masih akan dipercaya oleh para investor.

Dalam situasi seperti ini, siapapun tak dapat memprediksi bagaimana situasi ke depan, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal 1-2020 yang juga meleset hanya 2,97% saja dari target yakni 4,5%.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira mengingatkan adanya risiko hiperinflasi dengan adanya kebijakan moneter longgar yang dilakukan oleh bank sentral dalam menghadapi krisis ekonomi akibat wabah Covid-19.

Salah satu kebijakan moneter longgar yang berisiko mendongkrak inflasi adalah diperbolehkannya Bank Indonesia (BI) untuk membeli surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana atau pasar primer.

Inflasi yang saat ini rendah akan berbalik arah menjadi tinggi karena diborong oleh inflasi harga pangan. Pada triwulan dua Indonesia diperkirakan akan menghadapi krisis pangan, gangguan distribusi dan logistik. Artinya inflasi yang didorong oleh bahan pangan tentu akan tinggi.

“Disitulah kita terjebak, kemudian pemerintah mendorong BI melakukan QE sesuai Perppu yang membeli langsung ke pasar primer, maka akan terjadi hyper inflasi,” tegasnya dalam live conference, Rabu (6/5).

Seperti yang diketahui, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi April 2020 sebesar 0,08% atau tercatat 2,67% year on year (yoy).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Fahriyadi .