KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Bank Mandiri optimis ekonomi Indonesia tahun 2019 akan positif. Pertumbuhan ekonomi hingga akhir 2019 diperkirakan akan mencapai 5,22%. Menurut
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, peningkatan tersebut dipicu oleh pertumbuhan triwulanan terutama beberapa faktor musiman seperti bergesernya masa musim panen dari bulan Maret ke bulan April 2019, bulan Ramadan dan Idul Fitri, masa libur sekolah dan tahun pendidikan baru, pemberian THR serta gaji ke-13 bagi PNS. Pihaknya melihat potensi aliran masuk PMA akan kembali tumbuh pada paruh kedua tahun 2019, seiring dengan semakin meredanya ketidakpastian akibat tahun politik dan pengumuman kabinet kerja yang baru. Realisasi belanja pemerintah juga diperkirakan akan meningkat pada dua triwulan terakhir.
"Namun demikian, risiko penurunan permintaan dunia dan kembali meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok sekarang ini akan menjadi faktor risiko bagi ekonomi Indonesia untuk tumbuh lebih tinggi ke depannya,” kata Andry Asmoro di Jakarta, Rabu (15/5). Pada kuartal pertama tahun 2019, ekonomi Indonesia cenderung tumbuh stabil sebesar 5,07% (yoy), dibandingkan periode yang sama tahun 2018 yaitu 5,06% (yoy). Daya beli masyarakat di kuartal I/2019 terjaga baik yang ditunjukkan dengan pertumbuhan konsumsi Rumah Tangga yang tercatat 5,01% (yoy), meningkat dari 4,95% (yoy) pada 1Q18. Namun, seiring dengan melemahnya permintaan dunia akibat menurunnya pertumbuhan negara-negara besar seperti Tiongkok dan Uni Eropa, menyebabkan neraca perdagangan barang dan jasa terkoreksi. Pertumbuhan ekspor turun menjadi -2,08% (yoy) di kuartal I/2019 dibanding periode yang sama tahun 2018 yang tercatat tumbuh 5,94% (yoy). Upaya pemerintah dalam mengendalikan impor juga mendorong terkontraksinya capaian positif impor sebesar 7,75% (yoy). Tahun 2018, lanjut Andry Asmoro, ekonomi Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,17% di tengah berbagai dinamika ekonomi dunia. Pencapaian itu lebih tinggi dari pertumbuhan 2017 yaitu 5,07%. Tingkat inflasi juga terus terjaga, dimana pada tahun 2018 tingkat inflasi tercatat 3,13% turun dibandingkan tahun 2017 sebesar 3,61%. Walaupun terjadi pelebaran, defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD) terhadap PDB tahun 2018 masih berada pada batas aman, atau sedikit di bawah 3%. Capaian tersebut tidak terlepas dari berbagai upaya pemerintah dan BI dalam menjaga stabilitas ekonomi. Tahun ini, pihaknya menilai berbagai upaya tersebut masih akan berlanjut sehingga momentum pertumbuhan Indonesia akan dapat terus terjaga. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat meningkat dari 2,71% (yoy) di kuartal I/2018 menjadi 5,21% (yoy) di kuartal I/2019. Andry Asmoro mengemukakan bahwa pertumbuhan tersebut didukung oleh persiapan Pemilu 2019 dan realisasi bantuan sosial yang meningkat. Meski demikian, hal itu tidak diikuti oleh realisasi pembentukan modal, dimana pertumbuhan PMTB tercatat melemah dari 7,94% (yoy) di kuartal I/2018 menjadi 5,03% (yoy) di kuartal I/2019. “Hal ini karena terjadi perlambatan pertumbuhan realisasi penanaman modal, terutama PMA yang terkontraksi sebesar 0,9% (yoy). Pada tahun politik ini, investor cenderung bersikap
wait and see di tahun politik,” ujar Andry. Inflasi pada bulan April 2019 tercatat sebesar 2,83% (yoy), cenderung stabil dan masih berada pada range target inflasi BI tahun ini yang sebesar 3,5 ± 1%. Inflasi yang terjaga tersebut terutama disebabkan oleh semakin terkendalinya inflasi komponen bergejolak (volatile price). Hal ini terkait dengan peningkatan produktivitas dan persediaan stok bahan pangan yang lebih efektif. Pengendalian inflasi juga didukung oleh kuatnya komitmen pemerintah menjaga inflasi komponen harga diatur pemerintah (administered price), seperti harga bahan bakar dan energi. Selain itu, peran aktif pemerintah dan BI untuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah juga semakin membaik sehingga pergerakan harga dapat terkendali. “Kami memperkirakan inflasi akan mencapai kisaran 3,41% pada akhir tahun ini. Sementara itu, inflasi inti atau inflasi yang pergerakannya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor fundamental atau bukan musiman yang lebih dapat menggambarkan daya beli masyarakat tercatat stabil sebesar 3,05% pada April 2019,” ungkap Andry. Suku bunga acuan BI, BI-7DRRR, sampai dengan April 2019 tercatat tidak berubah dari posisi akhir tahun lalu yang sebesar 6%, sejalan dengan upaya memperkuat stabilitas eksternal perekonomian Indonesia. “Kami melihat terdapat ruang bagi BI untuk memangkas BI-7DRRR pada akhir tahun ini sebesar 25 bps menjadi 5,75%,” ujar Andry. Andry Asmoro melanjutkan, terdapat tiga faktor yang menentukan arah pergerakan BI-7DRRR, yakni tingkat inflasi, pergerakan suku bunga acuan The Fed, dan posisi Neraca Pembayaran. Untuk inflasi sendiri, sampai dengan April 2019 tingkat inflasi masih sangat stabil dan terjaga, kemudian pergerakan suku bunga The Fed juga telah memberikan sinyal positif. Hasil pertemuan FOMC Maret 2019 lalu telah mengindikasikan bahwa The Fed tidak akan menaikkan FFR di tahun ini. Arah kebijakan The Fed yang lebih
dovish tersebut memberikan dampak positif bagi pasar keuangan global, seperti terlihat dari aliran modal asing yang telah kembali masuk ke negara-negara
emerging market, termasuk Indonesia. Faktor terakhir juga mendukung ruang pemotongan BI-7DRRR pada tahun ini. CAD dilaporkan telah menyusut dari 3,59% terhadap PDB pada kuartal IV/2018 menjadi 2,60% terhadap PDB pada kuartal I/2019. “Seiring dengan terus membaiknya neraca perdagangan barang, kami memperkirakan CAD akan berkurang menjadi pada kisaran 2,6% terhadap PDB pada FY19,” ujarnya. Sementara itu, terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$), dimana pada 14 Mei 2019 nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp14.438 per dollar, lebih disebabkan pada faktor musiman pembayaran dividen dan bunga utang luar negeri pada triwulan kedua, peningkatan impor barang konsumsi menjelang bulan Ramadan dan meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Perang dagang tersebut yang menyebabkan terjadinya arus modal keluar ke instrumen investasi
safe haven yang ditandai dengan menurunnya IHSG serta meningkatnya imbal hasil SBN bertenor 10 tahun. IHSG sendiri pada penutupan 14 Mei 2019 ditutup melemah sebesar 1,1% menjadi 6.071,2 (-6% mtd atau -2% ytd), dan imbal hasil SBN bertenor 10 tahun naik sebesar 1,2 bps menjadi 8,05% (+22,5 bps mtd atau +2,8 bps ytd). “Menurut kami volatilitas nilai tukar tersebut hanya bersifat sementara dan kami memprediksi pada akhir tahun ini nilai tukar Rupiah akan berada pada kisaran Rp 14.248 per US$,” tuturnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi