Ekonom BCA Proyeksi Inflasi 3,7% Terhadap Harga Energi Akibat Perang Rusia-Ukraina



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang antara Rusia dan Ukraina yang kian memanas, apalagi setelah Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara Barat mulai melakukan sanksi pada sektor keuangan Rusia membuat harga komoditas energi melonjak.

Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina dapat mempengaruhi harga komoditas, mengingat kedua negara tersebut memiliki kontribusi terhadap perekonomian global.

Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual memperkirakan akan terjadi peningkatan harga (inflasi) 3,7% akibat efek konflik Rusia dan Ukraina terhadap harga komoditas energi.


“Beberapa waktu terakhir ini kan terjadi beberapa lonjakan harga, seperti kelangkaan minyak goreng dan juga beberapa harga makanan juga naik,” ujar David kepada Kontan.co.id, Senin (28/2).

David menambahkan, ke depannya dampak dari ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina juga akan mendorong kenaikan di beberapa harga komoditas. Pada tahun ini harga komoditas akan relatif lebih tinggi dikarenakan harga energi yang melonjak tinggi.

Baca Juga: Lonjakan Harga Minyak Bisa Menambah Inflasi Hingga 50 Basis Poin

“Kalau harga energi naik maka hampir semua komoditas juga bakalan naik. Karena energi seperti gas juga digunakan untuk pupuk dan pangan,” kata David.

Menurutnya, konflik dari kedua negara tersebut juga akan merembet terhadap kenaikan bahan pangan yang diimpor dari kedua negara tersebut seperti gandum dan kedelai.

“Kebetulan juga masih banyak bahan pangan kami yang masih diimpor yang pastinya akan naik. Jadi ada pengaruh kenaikan harga komoditas di satu sisi, pengaruhnya ke harga pangan” katanya.

Di sisi lain, David mengungkapkan bahwa harga minyak global masih akan mengalami tren kenaikan selama masih terjadi ketegangan di kedua negara tersebut. Dirinya memperkirakan harga minyak global akan berada di kisaran US$ 90 – US$ 100 per barel.

“Ini kan sekarang sudah bergerak di US$ 90, bahkan minggu lalu sudah bergerak di atas US$ 100. Jadi kemungkinan perkiraannya di level US$ 90 hingga US$ 100 per barel. Bahkan lebih,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari