Ekonom Celios: Pemerintah perlu antisipasi langkah The Fed



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah dan semua pihak harus bisa mengantisipasi langkah adanya The Fed, baik dari sisi kebijakan di sektor perbankan maupun dari sisi kebijakan moneter.

Sebab, Bank Indonesia (BI) bisa saja menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin sampai 50 basis poin untuk merespon kenaikan suku bunga The Fed yang masih memiliki ketidakpastian yang tinggi.

“Akan tetapi, pada intinya kita harus melihat dulu dari struktur perbankan. Kesiapan ini juga bergantung pada biaya dana dan biaya operasional,” jelas Bhima dalam bincang virtual Ekonomic Outlook “kebangkitan sekor keuangan,” pada Senin (22/11).


Menurut Bhima, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) perbankan secara umum  trendnya terus mengalami kenaikan. Meski sempat menurun sedikit pada Agustus 2021, tetapi jika dibandingkan dengan pra pandemi, BOPO ada di 79% kemudian sekarang konsisten berada di atas 80% hingga 85%.

Baca Juga: Indonesia-Swedia menjajaki kemitraan di lima area

Artinya, menurutnya jika bank ingin tetap kompetitif dan ingin tetap mendapatkan margin yang cukup besar maka mau tidak mau laba tersebut harus dipertahankan dengan cara biaya operasional memang harus ditekan.

Meski begitu, dirinya mengapresiasi beberapa bank yang melakukan langkah konkret, misal mengurangi dengan signifikan selama pandemi untuk kantor-kantor cabang yang diubah menjadi digital. Kemudian juga bank melakukan berbagai inovasi sehingga layanan menjadi lebih efisien, sehingga tidak terlalu butuh tatap muka ataupun pengeluaran-pengeluaran yang berlebihan.

“Jadi kalau biaya operasional terhadap pendapatan operasional bisa dijaga bahkan menurun tentunya bank yang bisa bertahan ini adalah bank yang relatif bisa efisien, bisa kompetitif,” jelasnya.

Sementara itu, dia juga menyoroti kredit menganggur atau undisbursed loan. Pada Juni 2021 sempat terjadi penurunan undisbursed loan, yang artinya bagus karena pertumbuhan kredit sudah mulai mengalami kenaikan. Pada periode itu bertepatan dengan momentum PPKM belum diperketat, belum ada PPKM darurat yang berlakunya pada Agustus kemudian September.

Adapun, tingginya undisbursed loan, dapat dilihat dari dua sisi. Bisa jadi kenapa ada komitmen pinjaman yang belum dicairkan dari sisi demand-nya pengusahanya yang ragu-ragu atau dari sisi bank yang masih melihat ada beberapa tingkat resiko yang mungkin akan meningkat sehingga mereka cenderung untuk berjaga-jaga. “Itu hal yang wajar,” kata Bhima.

Baca Juga: Jokowi minta pemberlakuan PPKM level 3 saat Nataru dikomunikasikan dengan baik

Dia mengatakan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 83% pelaku usaha segmen UMKM menyatakan yang paling dibutuhkan mereka saat ini adalah belanja modal atau modal tambahan, yang salah satu sumbernya tentunya berasal dari kucuran pinjaman kredit dari perbankan.

Oleh karena itu memang di sisi yang lain bank tetap harus selektif bukan berati mengerem, karena kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi 5%, tentunya diharapkan pertumbuhan kredit itu biasanya 3 kali lipat. Sehingga harus pertumbuhan kredit 15% untuk mendukung ekonomi agar bisa kembali sebelum level pandemi.

Lebih lanjut, pada 2022 memang diperkirakan akan ada tren kenaikan suku bunga yang terjadi tidak hanya di Indonesia dan potensi inflasi yang lebih tinggi, tetapi masih ada optimisme pada sektor-sektor yang sekarang mulai membaik sejak meredanya pandemi dan realisasi investasi juga cukup menggembirakan.

“Jadi tahun depan adalah momen. Darah dari ekonomi sekali lagi adalah memang lembaga keuangan khususnya adalah intermediasi yang paling besar perbankan. Jadi kalau perbankan saling tunggu, undisbursed loan-nya masih tinggi nanti pengaruh juga pada pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya. 

Selanjutnya: Anggaran PEN tahun ini hanya akan terserap 95%, berikut rincian realisasinya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi