Ekonom CITA sebut konsensus perpajakan internasional banyak menguntungkan Indonesia



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan konsensus perpajakan internasional akan banyak menguntungkan Indonesia sebagai negara yang diterpa penginderaan pajak. 

Dalam Pillar I, perusahaan yang tidak punya physical presence dapat dipajaki oleh Indonesia. Sehingga aturan yang dibuat pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, untuk mengenakan PPh terhadap perusahaan asing atas dasar significant economic presence bisa diterapkan tanpa potensi adanya konflik antar negara. 

Setali tiga uang, Pilar 1 dapat menarik PPh perusahaan digital asing meski tak memiliki kantor di Indonesia. Ia menilai pada 2023 mendatang potensi pajak digital dapat terus menggeliat. Terlebih, beberapa perusahaan digital asing sudah diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN). 


“Sementara dalam pillar II, tentu mencegah tekanan tarif PPh badan lebih mendalam dengan adanya tarif yang berlaku secara internasional,” kata Fajry. 

Baca Juga: Sri Mulyani tegaskan komitmen pemerintah perkuat pasar keuangan syariah

Sebelumnya, Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral yang tergabung dalam forum G20 menyepakati sistem perpajakan internasional dengan telah ditetapkannya Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising From the Digitalisation and Globalization  of the Economy.

Tercapainya kesepakatan tersebut setelah lebih dari satu dekade didiskusikan menunjukkan keberhasilan pendekatan multilateralisme dalam mengatasi tantangan digitalisasi dan globalisasi ekonomi, khususnya terkait mengatasi Base Erosion Profit Shifting (BEPS).  

Kesepakatan ini mencakup 2 pilar yang bertujuan untuk memberikan hak pemajakan yang lebih adil dan berkepastian hukum dalam mengatasi BEPS akibat adanya globalisasi dan digitalisasi ekonomi tersebut. 

Dalam Pilar 1, negara pasar dapat memajaki suatu perusahaan multinasional hanya bila perusahaan tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT). Sehingga menyebabkan kesulitan atau kecilnya kemungkinan untuk memajaki. Namun dengan adanya kesepakatan Pilar 1, hak pemajakan negara pasar tidak lagi terkendala ketentuan terkait BUT tersebut. 

Selanjutnya, kesepakatan Pilar 2 ditujukan untuk mengatasi isu BEPS lainnya dengan memastikan perusahaan multinasional dengan minimum omset konsolidasi sebesar € 750 juta harus membayar pajak penghasilan dengan tarif minimum 15% di negara domisili.

Selanjutnya: Sistem pajak internasional disepakati, RI bisa pajaki 100 perusahaan multinasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli