KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet memperkirakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun ini akan lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun lalu. Dia memperkirakan rasio utang pemerintah akan di kisaran 37% hingga 38% terhadap PDB. Sedangkan Rasio utang pemerintah Indonesia pada akhir 2022 tercatat sebesar 39,7% dari PDB. Perkiraan tersebut sejalan dengan jumlah penarikan utang pemerintah tahun ini yang relatif lebih sedikit dibandingkan tahun lalu. Penarikan utang yang lebih rendah tersebut juga karena penerimaan negara yang masih mencatatkan kinerja yang relatif baik.
Baca Juga: Insentif Perpajakan Terus Meningkat, Ini Penjelasan Sri Mulyani Adapun rasio utang pada Agustus 2023 tercatat menurun menjadi 37,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB) jika dibandingkan akhir tahun 2022. Meski begitu, Yusuf berharap agar pemerintah bisa mengembalikan posisi utang setidaknya sama seperti sebelum pandemi. Posisi utang pada Agustus 2023 tercatat sebesar Rp 7.870,35 triliun. Posisi utang tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Juli 2023 yang sebesar Rp 7.855,53 triliun. “Kenaikan jumlah utang pada bulan Agustus, saya kira dipengaruhi oleh jumlah jatuh tempo utang dan juga fluktuasi nilai tukar Rupiah yang sempat mengalami kelemahan pada bulan tersebut,” tutur Yusuf kepada Kontan.co.id, Minggu (24/9). Dia mengatakan, agar utang pemerintah bisa kembali ke posisi sebelum pandemi, Pemerintah perlu memperhatikan bagaimana produktivitas dari penggunaan utang itu sendiri. Idealnya ketika pemerintah melakukan pinjaman atau pembiayaan melalui hutang, maka hasil yang diharapkan dari pembiayaan tersebut bisa dua atau tiga kali lebih besar dari nominal utang ataupun bunga utang yang akan ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena itu, lanjutnya, kebijakan utang juga harus disinkronisasi dengan kebijakan pada belanja fiskal secara keseluruhan. Menurutnya, jika belanja fiskal dilakukan secara tepat, maka bisa menjadi andil terhadap peningkatan perekonomian secara keseluruhan, dan pada muaranya akan mendorong penurunan rasio utang secara umum.
Baca Juga: APBN Semakin Terbebani Menanggung Utang Proyek-Proyek Infrastruktur “Untuk itu juga yang perlu diperhatikan adalah bagaimana belanja fiskal itu mampu menciptakan efek multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian,” imbuhnya.
Adapun posisi utang pemerintah sebbelum pandemic Covid-19 tercatat sebesar Rp 4.779,28 triliun pada 2019. Setelah pandemic Covid-19 utang pemerintah meningkat menjadi Rp 4.779,28 triliun pada 2020. Kemudian, pada 2021 kembali meningkat menjadi Rp 6.908,87 triliun, dan pada 2022 meningkat menjadi Rp 7.733,99 triliun. Meski begitu, Yusuf mengatakan, dinamika jumlah utang pemerintah dipengaruhi oleh beberapa hal termasuk di dalamnya, penarikan utang baru, jumlah jatuh tempo utang, jumlah bunga utang, hingga dinamika nilai tukar yang akan mempengaruhi utang yang mempunyai bunga floating. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .