KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi di sektor hirilisasi nampaknya belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi ekonomi, khususnya di wilayah hilirisasi smelter. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menyampaikan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan hirilisasi belum berkontribusi signifikan terhadap perekonomian wilayah sekitar. Ia menyebut, hirilisasi belum mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri secara optimal. Bhima bilang, memang ada fase saat pembangunan konstruksi menyerap lebih banyak tenaga kerja, tetapi setelah pabrik smelter beroperasi tenaga kerjanya tidak bertambah seperti saat fase konstruksi.
Baca Juga: Menakar Prospek Saham Emiten Nikel di Tengah Lesunya Harga Nikel Global “Selain itu, dampak berganda yang diciptakan pada saat proses konstruksi banyak impor bajanya. Jadi nggak terlalu berdampak pada UMKM lokal dan industri kontruksi dalam negeri pada satu tahap awal,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (29/1). Kemudian, Bhima juga menilai hirilisasi justru merusak kondisi lingkungan sekitar. Ia bercerita pernah mengunjungi salah satu smelter di Maluku Utara. Ketersediaan air bersih cukup sulit ditemukan disana. Sebab asap PLTU batubara yang digunakan untuk proses hirilsiasi smelter nikel membuat sumur warga tercemar. “Waktu itu saya ke sana, terus kok begini, jadi bitnik-bintik hitam airnya, akhirnya mereka banyak pakai air bersih dari tempat lain, jadi beli air pikulan gitu. Jadinya pengeluaran jadi naik,” ungkapnya. Disamping itu, alasan adanya smelter nikel di wilayah hirilisasi tidak terlalu berdampak pada perekonomian sekitar adalah karena transfer remitansi oleh tenaga kerja asing yang bekerja di sektor tersebut meningkat. Artinya gaji yang didapat langsung ditransfer ke luar dan tidak banyak digunakan untuk di pasar lokal atau ekonomi sekitar. Mengutip data Bank Indonesia misalnya, porsi pengiriman uang atau remitansi dari tenaga kerja asing China mencapai US$ 375 juta pada kuartal III 2023. Ini meningkat dari tahun 2016 yang nilainya sebesar US$ 217 juta.
Baca Juga: Menilik Sulitnya Pendanaan Proyek Smelter Bauksit Kemudian, repatriasi modal hasil keuntungan smelter juga tidak banyak digunakan untuk berbelanja di wilayah sekitar dan keuntungan langsung ditransfer ke negara asal investasi. “Jadi hasil dari ekspor tidak semua diinvestasikan dalam negeri. Ini yang bikin ekonomi lokalnya susah berkembang,” ungkapnya. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi di sektor hirilisasi sepanjang 2023 mencapai Rp 375,4 triliun, atau sebesar 26,5% dari total realisasi investasi sebesar Rp 1.418,9 triliun.
Investasi di sektor hilirisasi tersebut di antaranya, pada sektor mineral terdiri dari smelter yang nilainya Rp 216,8 triliun. Ini terdiri dari nikel mencapai Rp 136,6 triliun, bauksit Rp 9,7 triliun, dan tembaga Rp 70,5 triliun. Kemudian, di sektor pertanian yakni Cure Plam Oil (CPO) menjadi oleochemical sebesar Rp 50,8 triliun. Sektor kehutanan yakni plup dan paper mencapai Rp 51,8 triliun. Selanjutnya pada sektor minyak dan gas yakni petrochemical mencapai Rp 46,3 Triliun. sektor ekosistem kendaraan listrik yakni baterai kendaraan listrik mencapai Rp 9,7 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi