Ekonom: Indonesia Perlu Waspadai Cengkeraman Utang China



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) melihat, dalam beberapa tahun terakhir ini, ketergantungan Indonesia terhadap China terlihat semakin nyata. Hal ini telah menciptakan iklim ekonomi domestik yang negatif.

Bahkan, peningkatan kerjasama yang pesat ini telah berlangsung sejak pemerintahan Joko Widodo. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kini China merupakan mitra dagang dan investor terbesar indonesia.

Terlebih lagi, China saat ini tengah memimpin banyak proyek pembangunan infrastruktur besar di tanah air. Salah satu yang terbesar adalah proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) senilai US$ 8 miliar.


Untuk itu, Celios menilai bahwa Indonesia harus menyiapkan strategi mitigasi untuk menghindari situasi yang tidak diinginkan, seperti jebakan utang atau debt trap. 

Baca Juga: BI Sebut Utang Luar Negeri Pemerintah Relatif Stabil pada April 2023

Asal tahu saja, nilai utang Indonesia kepada China telah mencapai yang fantastis, yakni di angka US$ 20,225 miliar atau setara 315,1 triliun pada tahun 2022.

Direktur Studi China-Indonesia Celios Zulfikar Rakhmat memperkirakan jumlah utang China tersebut akan berpotensi meningkat diiringi dengan masuknya proyek-proyek Belt and Road Initiative lain yang sudah ditandatangani.

"Angka ini akan berpotensi untuk meningkat karena masih ada beberapa investasi dan proyek yang sudah ditandatangani atau komitmennya sudah disampaikan kedua belah pihak tapi belum terimplementasi," ujar Direktur Studi China-Indonesia Celios Zulfikar Rakhmat di Jakarta, Kamis (15/6).

Selain itu, munculnya kekhawatiran risiko gagal bayar yang akan menyebabkan kerugian yang lebih besar di masa depan. Kekhawatiran tersebut bukanlah tanpa dasar, pasalnya dari negara-negara yang terlibat dalam proyek Belt and Road Iniative, beberapa telah dinyatakan gagal bayar, salah satunya Sri Lanka terkait proyek pembangunan pelabuhan Hambantota.

Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan risiko terjerat utang, di antaranya lantaran China memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi.

Namun, Zulfikar bilang, Indonesia saat ini masih belum terjerat jebakan utang tersebut. Meski begitu, pemerintah perlu mewaspadai lantaran ada potensi Indonesia mengarah ke situ.

Baca Juga: Dana Asing Keluar Rp 1,45 Triliun Sepekan, Pengaruh Antisipasi FOMC?

"Belum (debt trap), kita istilahnya masih mampu lah, cuma sudah ada tanda-tanda bahwa kemungkinan kita bisa kena jebakan kalau pemerintahnya tida hati-hati," tegasnya.

Sebagai informasi, selama 2021, nilai ekspor Indonesia ke Negeri Tirai Bambu tersebut mencapai US$ 63,63 miliar atau setara Rp 961,28 triliun. 

Ini didominasi oleh ekspor bahan baku mineral dan nikel. Sementara itu, nilai impor dari China juga kian meningkat menjadi sebesar US$ 60,71 miliar, mayoritas adalah bahan baku yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas industri dalam negeri.

Jalinan hubungan kedua negara ini juga semakin erat selama pandemi Covid-19, lantaran China menjadi pemasok vaksin terbesar bagi Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi