KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sinyal dari Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang positif. Namun sejumlah ekonom menilai saat ini bukan waktu yang tepat bagi BI menurunkan suku bunga acauan. Sebelum menurunkan suku bunga acuan, sebenarnya Bank Sentral menyatakan akan tetap memastikan perekonomian dalam kondisi benar-benar stabil sebelum membalik arah kebijakan moneternya. "Memang kami melihat suku bunga BI sekarang sudah mencapai hampir puncaknya. Sebelumnya, suku bunga memang harus kami arahkan untuk stabilitas," ujar Perry dalam diskusi Outlook Ekonomi 2019, Kamis (28/2).
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, setidaknya ada dua alasan utama mengapa masih terlalu dini bagi BI untuk mengubah stance kebijakan moneternya saat ini.
Pertama, sentimen negatif global sejatinya belum benar-benar mereda. Risiko geopolitik, geoekonomi, hingga keamanan masih menyelimuti kondisi dunia saat ini. "The Fed masih dalam stance hawkish, pembicaraan dagang Amerika Serikat (AS) dan China masih maju mundur, pertemuan AS dan Korea Utara tidak membuahkan hasil, dan sekarang ada konflik India dan Pakistan yang mencuat," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (28/2).
Kedua, BI mestinya tetap konsisten pada latar belakang utamanya memperketat kebijakan moneter yaitu menekan defisit transaksi berjalan
alias current account deficit (CAD). Seperti yang diketahui, persoalan CAD yang melebar menjadi faktor utama dari dalam negeri yang membuat kurs rupiah bergerak volatil sepanjang tahun lalu. Lantas, BI mengambil langkah menaikkan suku bunga hingga 175 basis poin sambil mengikuti jejak The Fed. Sepanjang 2018, posisi CAD Indonesia sebesar mencapai 2,98% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara, tahun ini, pemerintah dan BI berupaya menekan CAD dengan harapan mencapai 2,5% terhadap PDB. Target tersebut, menurut Josua, sangat optimistis. Apalagi di tengah kondisi neraca perdagangan yang masih defisit sebesar US$ 1,16 miliar per Januari 2019. "Kalau BI mau menurunkan suku bunga, mestinya paling tidak melihat dulu perkembangan CAD Indonesia di tahun ini seperti apa. Jadi, saya pikir
timing-nya masih belum tepat buat BI menurunkan suku bunga," tandas Josua. Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira berpandangan, BI sebaiknya tak buru-buru menurunkan suku bunga acuan. Pasalnya, kendati tingkat inflasi saat ini rendah, Bhima melihat adanya potensi inflasi meningkat di tahun ini. "Siapa pun nanti pemerintahannya, ada kemungkinan harga bahan bakar minyak (BBM) maupun tarif listrik dinaikkan. Ini bisa memicu kenaikan inflasi," kata Bhima, Kamis (28/2). Sementara, Bhima tak sepakat jika penurunan suku bunga dianggap perlu untuk mendorong investasi. Alasannya, kondisi penanaman modal dalam negeri (PMDN) Indonesia saat ini masih positif, tapi kondisi investasi asing langsung (
Foreign Direct Investment) lah yang lesu.
"FDI ini kan faktornya bukan suku bunga, tapi lebih ke arah stabilitas nilai tukar rupiah. Jadi, stabilitas rupiah menjadi variabel yang lebih penting untuk mendrong investasi asing masuk, terutama FDI," terang Bhima. Kedua ekonom tersebut sepakat, BI semestinya tetap mempertahankan stance kebijakannya saat ini setidaknya hingga semester-I 2019 berakhir. Jika BI tergesa menurunkan suku bunga dalam jangka pendek, bukan tak mungkin kondisi nilai tukar rupiah akan kembali melemah dan volatil lantaran berlawanan dengan ekspektasi investor yang masih menganggap aset Indonesia sebagai aset dengan imbal hasil (yield) yang atraktif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli