KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menunda penerapan pajak karbon (carbon tax). Sebelumnya, penerapan pajak karbon akan diberlakukan pada Juli 2022, namun ditunda. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kapan pajak karbon akan diberlakukan. Padahal, penerapan pajak karbon sudah menjadi amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang harus diberlakukan pada tahun ini.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pemerintah belum siap menerapkan pajak karbon pada tahun ini. Ia melihat, secara koordinasi dari antar kementerian/lembaga juga masih kurang. "Belum lagi dengan pialangnya, dengan pelaku usaha yang sudah siap, itu belum banyak pendataan yang disiapkan juga. Karena ini beriringan dengan pajak karbon. Penerapan pajak karbon kan harusnya sudah mulai dilakukan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), tapi belum diberlakukan juga," tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (4/10).
Baca Juga: Pemerintah Masih Menunggu Waktu yang Tepat Menerapkan Pajak Karbon Penundaan ini membuat para pengusaha belum mau terlibat masuk ke pasar karbon. Selain karena masalah regulasi yang belum ada, penundaan penerapan pajak karbon membuat persiapan untuk masuk ke pasar karbon juga mundur. Tambah lagi, roadmap pajak karbon juga tak kunjung dikeluarkan pemerintah. Padahal, menurut Bhima, saat ini yang paling dibutuhkan adalah roadmap pajak karbonnya terlebih dahulu. Jika roadmap pajak karbon belum siap, ia khawatir akan terjadi hal yang sama seperti di negara-negara Eropa. Yakni, sebanyak 70% dana untuk pajak karbon digunakan untuk belanja yang tidak ada kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim. Pemerintah sebelumnya beralasan, penundaan pajak karbon dilakukan melihat kondisi global yang penuh ketidakpastian yang berdampak pada perkonomian domestik. Sehingga penerapannya baru bisa dilakukan jika ekonomi doemstik sudah pulih. Bhima menilai, alasan penundaan pajak karbon tersebut tak kuat. Menurutnya, justru di momen saat ini penerapan pajak karbon akan memicu kenaikan serapan kerja dan mendorong pertumbuhan sektor yang berkelanjutan. "Contohnya PLTU dikenakan pajak karbon, uangnya dijadikan insentif untuk pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan dan kontribusi dari EBT ujungnya ke penerimaan pajak negara juga. Multiplier efeknyanya lebih luas," katanya. Melihat koordinasi antar kementerian/lembaga terkait penerapan pajak karbon yang masih kurang, Bhima pesimistis, pajak karbon di Indonesia bisa diterapkan tahun ini. Ia memnebak, pemerintah baru akan siap menerapkan pajak karbon di tahun 2023 mendatang. Untuk diketahui, penerapan pajak karbon tahap awal akan diberlakukan bagi PLTU batubara. Kemudian implementasinya akan diperluas untuk sektor lain mulai tahun 2025. Dalam penerapannya, ada dua skema implementasi pajak karbon.
Pertama, melalui perdagangan karbon atau cap and trade. Institusi yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan, maka bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari institusi lain yang emisinya di bawah cap. Opsi lainnya, membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Kedua, melalu pajak karbon atau
cap and tax yang mengatur jika suatu institusi tidak bisa membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax. Ini berarti sisa emisi yang melebihi cap tadi akan dikenakan pajak karbon. Adapun tarif minumum karbon ditransaksikan senilai Rp 30 per kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Dalam proses penyusunan pajak karbon ini, terdapat beberapa kementerian utama yang terlibat. Yakni Kementerian Keuangan bertugas membuat aturan teknis pelaksanaan pajak karbon. Seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon. Kemudian,aturan teknis lain seperti batas atas emisi untuk subsektor PLTU dan tata cara penyelenggaraan nilai ekonomi karbon pada pembangkit tenaga listrik akan ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
lalu, terkait tata laksana penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) dan Nationally Determined Contributions (NDC) kebijakannya diatur Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). Serta, komite pengarah nilai ekonomi karbon ada di ranah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Kementerian Keuangan sebelumnya juga memperkirakan dampak penerapan pajak karbon 2023 berpotensi menambah penerimaan negara senilai Rp 194 miliar. Sedangkan dampak terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik senilai Rp 207 miliar. Dari sisi inflasi, dampaknya bahkan diperkirakan tidak ada.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Penerimaan Negara pada 2023 Tembus Rp 2.463 Triliun Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat