Ekonom Josua Pardede Beberkan Penyebab Pelemahan Rupiah



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kondisi nilai tukar rupiah dalam tren melemah meski sempat menguat ke level Rp 15.900 per dollar AS pada Mei lalu. Kamis (20/6), kurs rupiah Jisdor melemah 0,32% ke Rp 16.420 per dolar AS dari posisi kemarin Rp 16.368 per dolar AS.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan, dari sisi domestik pelemahan rupiah memang dipengaruhi sentimen negatif, terkait isu bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang hingga 50% dari produk domestik bruto (PDB) untuk memenuhi janji kampanyenya.

“Dari sisi domestik, pelemahan rupiah dipengaruhi pemberitaan dari salah satu kantor berita asing terkait kenaikan rasio utang pemerintah berikutnya meskipun belum dapat bisa dikonfirmasi sumbernya,” tutur Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (20/6).


Baca Juga: Rupiah Anjlok, Transaksi Jual Beli Valas di Money Changer Tetap Ngegas

Di samping itu, Josua juga menilai, kebijakan belanja pemerintah dikhawatirkan cenderung lebih ekspansif pada masa pemerintahan mendatang sehingga defisit akan cenderung meningkat tajam.

Kekhawatiran ini juga terefleksi dari kenaikan imbal hasil obligasi 10 tahun sebesar 21 basis poin (bps) ke level 7,13%.

Josua menyebut, di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang masih mendominasi, Bank Indonesia (BI) diperkirkirakan akan tetap berada di pasar untuk melakukan triple intervention dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sehingga berpotensi mempengaruhi perkembangan cadangan devisa dalam jangka pendek.

Dengan pelemahan nilai tukar rupiah ini lanjutnya, akan berpotensi mempengaruhi Perusahaan atau sektor ekonomi yang mengimpor bahan baku akan menghadapi biaya yang lebih tinggi sehingga berpotensi menurunkan margin keuntungan dari perusahaan.

“Sebaliknya, emiten/perusahaan yang berorientasi ekspor dapat memperoleh keuntungan karena produk mereka menjadi lebih kompetitif di pasar internasional,” ungkapnya.

Baca Juga: Rupiah Diprediksi Tertekan Lagi pada Jumat (21/6)

Pelemahan rupiah juga berpotensi mendorong inflasi impor yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat inflasi nasional serta mempengaruhi daya beli konsumen dan mempengaruhi kinerja perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa.

“Mempertimbangkan bahwa perkembangan di pasar keuangan domestik saat ini dipengaruhi oleh faktor sentiment dari pasar keuangan global, oleh sebab itu tekanan pada nilai tukar Rupiah dan pasar keuangan domestik diperkirakan akan cenderung sementara,” ungkapnya.

Kedepannya, dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang relatif solid, yakni inflasi terkendali, kondisi keseimbangan eksternal tetap terjaga, prospek pertumbuhan ekonomi yang solid, Josua memperkirakan, potensi ruang penguatan dari nilai tukar rupiah dan pasar keuangan domestik pun juga akan lebih terbuka kedepannya.

“Nilai tukar rupiah pada akhir tahun ini diperkirakan berkisar Rp 15.900- Rp 16.200 per dollar AS,” katanya.

Lebih lanjut, Ia menyampaikan, solusi dalam jangka pendek dari depresiasi rupiah adalah dengan BI terus melakukan intervensi di pasar valas.

Baca Juga: BI Beberkan Sejumlah Alasan yang Jadi Pemicu Rupiah Melemah

Sementara dalam jangka menengah, BI perlu menggalakan lagi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) dan terus melakukan pendalaman pasar keuangan Indonesia.

Terakhir, untuk jangka panjang, diversifikasi ekspor perlu dilakukan agar tidak dominan pada komoditas yang harganya cenderung berfluktuasi. Tujuan diversifikasi ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar beberapa negara saja, serta agar kebutuhan input impor menurun,.

“Hal ini meningkatkan peran industri pariwisata sebagai sumber penerimaan valas, dan terus meningkatkan FDI akan ketergantungan pada ‘hot money’ atau investasi portofolio asing menurun,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto