KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir-akhir ini pemberitaan kasus dugaan korupsi Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (BPJS-TK) ramai diperbincangkan. Masalah utamanya, adalah dugaan tindak pidana atas penurunan nilai investasi (unrealized loss) BPJS-TK. Kasus unrealized loss BPJS-TK inipun seolah-olah disamakan dengan kasus Jiwasraya dan ASABRI. Padahal sejatinya, kasus unrealized loss BPJS-TK sangat berbeda dengan kasus Jiwasraya dan ASABRI. Pakar Ekonomi Keuangan Roy Sembel pun mengungkapkan, unrealized loss BPJS-TK tidak bisa disamakan dengan kasus Jiwasraya.
Apalagi menurutnya, kalau dilihat dari portofolio BPJS-TK sendiri, berisi saham-saham LQ45, dimana unrealized loss-nya mengikuti kondisi naik dan turunnya pasar atau masih inline. Sementara kalau Jiwasraya unrealized loss karena berisi saham-saham gorengan yang naik turunnya sangat volatile. "Selain itu, prosentase aset allocationnya BPJS Ketenagakerjaan dibandingkan dengan Jiwasraya jauh berbeda. Portofolio yang terdiri dari saham di BPJS Ketenagakerjaan jauh lebih kecil dibandingkan porsinya portfolio saham Jiwasraya," jelas Roy melalui diskusi Infobanktalknews dengan tema ‘Pengelolaan Investasi dan Potensi Unrealized Loss pada Lembaga Milik Negara, Apakah Pasti Menjadi Kerugian Negara?" secara virtual, Selasa (23/2). Baca Juga: Ditunjuk jadi Dirut BPJS Ketenagakerjaan, ini tiga PR Anggoro Eko Cahyo Sementara itu, Pengamat Hukum Pasar Modal, Indra Safitri mengatakan, kerugian investasi adalah salah satu risiko pasar yang akan dihadapi oleh investor. Namun jika kita berbicara unrealized loss, adalah kerugian secara buku bukan faktual.