Ekonom: Kenaikan persepsi risiko Indonesia bukan cerminan fundamental



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar surat utang dalam negeri kembali tertekan seiring dengan melonjaknya angka credit default swap (CDS). Angka yang mengindikasikan persepsi investor atas risiko investasi di suatu negara ini naik lantaran sentimen negatif eksternal kuat menerpa, di antaranya kenaikan suku bunga The Fed dan konflik perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.

Kendati demikian, kondisi ini bukan hanya dialami Indonesia. Sejumlah negara berkembang juga mengalami lonjakan risiko investasi, seperti Vietnam, Filipina, Turki, serta Afrika Selatan. Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, posisi Indonesia bisa dikatakan jauh lebih positif ketimbang negara-negara tersebut.

Menurut dia, dengan angka CDS yang terpaut tak jauh berbeda, yield yang ditawarkan obligasi pemerintah Indonesia atau SUN acuan 10 tahun masih jauh lebih menarik ketimbang Filipina dan Vietnam, misalnya. "Selain itu, jika dilihat dalam kurun lima tahun, tren CDS Indonesia sebetulnya menurun," ujar Josua, Rabu (20/6).


Secara fundamental, Josua menambahkan, Indonesia juga masih menunjukkan performa yang positif. Lembaga pemeringkat global S&P bahkan telah mengonfirmasi rating Indonesia masih dalam kategori investment grade (BBB-) dan beroutlook stabil. "Masuknya Indonesia dalam Bloomberg Barclays Index di pertengahan tahun ini turut jadi bukti sekaligus sentimen positif yang diharapkan dapat menahan tingkat risiko investasi kita," kata dia.

Meski demikian, persepsi risiko investasi ini juga sangat bergantung pada respon dari regulator, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk menjadi stabilitas nilai tukar rupiah. Meski indikator makroekonomi cenderung solid, Josua menilai, nilai tukar tetap menjadi faktor terpenting di mata investor.

"Tingkat risiko yang tinggi memang bisa diimbangi dengan kenaikan suku bunga untuk menaikkan daya tarik, tapi tetap harus meninjau lagi seberapa dalam koreksi yang terjadi di pasar obligasi," ujar Josua.

Senada, Head of Economist Pefindo, Fikri Permana, enggan terburu-buru menyimpulkan perlunya Bank Indonesia mengerek suku bunga acuan lagi di Rapat Dewan Gubernur pada 28 Juni mendatang. Menurutnya, saat ini pihak otoritas moneter dan fiskal lebih baik menjaga nilai yield di pasar primer maupun sekunder agar tidak terlalu tinggi.

Fikri berpendapat, kalau suku bunga dinaikkan lagi, persepsi risiko Indonesia di mata investor dikhawatirkan semakin kurang baik. "Bisa jadi kita dianggap terlalu sering merespon kebijakan global dengan kenaikan suku bunga yang mengisyaratkan otoritas tidak pede dengan ekonomi dalam negeri," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati