Ekonom: Konsolidasi perbankan harus ada insentif



JAKARTA. Ekonom Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas), Aviliani mengungkapkan, untuk mencapai konsolidasi perbankan dalam rangkan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) Industri Perbankan pada 2020 mendatang, pemerintah harus memberikan insentif kepada bank yang melakukan konsolidasi.

Menurut Aviliani, Kementerian Keuangan patut memikirkan hal tersebut, karena jika bank-bank kecil melakukan merger dalam rangka konsolidasi untuk memperkuat modal, mereka harus tetap membayar pajak. Nah, hal inilah yang harus diberikan insentif oleh Pemerintah, agar konsolidasi pada industri perbankan dapat datang dengan sendirinya tanpa harus adanya paksaan.

Insentif lainnya, kata Aviliani, diantaranya adalah pengurangan setoran dividen yang harus dilakukan oleh bank pelat merah yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Sehingga BUMN tidak terus-terusan menyetorkan dividen kepada Pemerintah. Mulai sekarang baiknya dividen dikurangi kalau bisa sampai dengan 10%. Dengan begitu bank BUMN bisa tumbuh lebih baik lagi karena modal akan dapat tumbuh lebih besar," ujar Aviliani dalam Seminar Konsolidasi Perbankan Menghadapi MEA 2020 di Jakarta, Selasa (26/8).


Dia juga menjelaskan, pupuk modal mutlak diperlukan oleh perbankan di Indonesia menyongsong MEA yang tidak lama lagi akan terjadi. Sebab, kendala likuiditas akan jadi kendala bagi perbankan ke depannya.

Margin bunga bersih alias net interest margin (NIM) tinggi, yang dapat diperoleh industri perbankan saat ini gunanya adalah untuk memupuk modal menghadapi 2020 mendatang. Sebab, setelah tahun tersebut, yield dari investasi akan flat. Dengan begitu, patut memikirkan jalur ekspansi jika yield sudah flat.

Kendala likuiditas, menurut Komisaris Bank Mandiri ini, adalah karena masyarakat nantinya akan lebih memilik untuk menginvestasikan uangnya ketimbang menyimpan uang di bank. Aviliani bilang, 70% pemasukan masyarakat Indonesia akan di investasikan.

Ini artinya, konsumsi masyarakat akan menurun. Tren perbankan akan turun menjadi hanya sekitar 35%-40% Sedangkan investasi pada non-bank, akan mencapai 60%-65%. Menurut Aviliani, ini sebagai imbas dari semakin melek-nya masyarakat Indonesia terhadap investasi.

"Dengan begitu, bank yang memiliki anak usaha yang bergerak di bidang lembaga keuangan non-bank, akan tumbuh lebih besar dibandingkan bank yang hanya berdiri sendiri," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie