Ekonom: LPG naik Rp 1.000, kerek inflasi jadi 6,5%



JAKARTA. Harga jual liquified petroleum gas (LPG) non subsidi 12 kilogram (kg) mengalami kenaikan sebesar Rp 1.000 per kg atau Rp 12.000 per tabung. Nilai ini jauh di bawah rencana kenaikan semula yang sempat dipatok yaitu Rp 3.500 per kg atau Rp 42.000 per tabung.

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menghitung, kenaikan harga elpiji non subsidi ini akan membuat inflasi tahunan Indonesia berada pada kisaran 5,5% hingga 6,5%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan perkiraan Bank Indonesia semula yaitu 4,5% plus minus 1%. 

Tony bilang, kontribusi kenaikan LPG terhadap hitungan inflasi tidak sebesar lonjakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Meski begitu, menurutnya, sumbangan kenaikan harga elpiji 12 kg ini tetap signifikan terhadap laju inflasi. 


"Kontribusi LPG tidak sebesar BBM, namun kenaikan harga LPG tetap signifikan dan bisa mengganggu inflasi," ujar Tony melalui pesan singkat pada Senin (6/1). 

Pelemahan rupiah

Lebih lanjut Tony menambahkan, selain kenaikan harga LPG, pelemahan rupiah juga berpotensi menyumbang imported inflation. Kondisi ini, berpotensi menimbulkan adanya conflicting target antara bank sentral dengan Otoritas Jasa Keuangan.

Sebab, sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berkepentingan menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi. Saat kondisi ini, maka bank sentral perlu menaikkan BI rate untuk menjaga nilai tukar dan menekan laju inflasi.

Namun di sisi lain, kata Tony, OJK perlu menjaga kinerja industri perbankan, terutama dari sisi ekspansi kredit. Nah, langkah itu dilakukan tentu dengan cara menahan laju suku bunga.

"Inflasi bisa lebih tinggi dari target BI. Kondisi ini saya duga akan berpotensi terjadinya conflicting target antara BI dan OJK. BI berkepentingan menjaga kurs rupiah dan inflasi, berarti perlu menaikkan BI rate. Di sisi lain, OJK perlu menjaga kinerja bank umum, terutama dari sisi ekspansi kredit, dengan cara menahan suku bunga," jelas Tony.

Seperti diketahui, alasan kenaikan harga elpiji non subsidi diputuskan menyusul tingginya harga pokok elpiji di pasar. Pertamina berdalih turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menyebabkan kerugian keuangan yang semakin besar. 

Harga pokok perolehan Elpiji selama ini rata-rata naik menjadi US$ 873. Dengan konsumsi Elpiji non subsidi kemasan 12 kg tahun 2013 mencapai 977.000 ton serta pelemahan nilai tukar rupiah, Pertamina memperkirakan kerugian yang ditanggung perusahaan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun.

Kerugian itu timbul sebagai akibat dari harga jual Elpiji non subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah harga pokok perolehan. Harga yang berlaku saat ini merupakan harga yang ditetapkan pada Oktober 2009 yaitu Rp 5.850 per kg. Padahal harga pokok perolehan kini telah mencapai Rp 10.785 per kg.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan