KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia mengingatkan, pengetatan kebijakan moneter di sebagian besar negara maju akan mempengaruhi aliran modal asing yang masuk ke dalam pasar keuangan negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Dalam hal ini, pengetatan kebijakan yang lebih cepat dari perkiraan semula diperkirakan akan membuat hengkangnya aliran modal asing (
capital outflows) dari negara-negara tersebut dan kemudian akan memberi tekanan pada nilai tukar negara, sehingga menyundut inflasi. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual turut memberi catatan. Ia melihat memang masih ada potensi hengkangnya asing dari pasar keuangan dalam negeri, terutama di pasar surat berharga negara (SBN).
Baca Juga: Ada FOMC Meeting, Bagaimana Pergerakan IHSG Sepekan ke Depan? “Di pasar SBN memang ada kekhawatiran The Fed terus naikkan suku bunga kebijakan sehingga imbal sehingga bisa mempengaruhi selisih imbal hasil (spread) antara SBN dan obligasi pemerintah AS. Jadi, tren (arus modal asing) ke SBN masih negatif,” tutur David kepada Kontan.co.id, Jumat (10/6). Kondisi ini, dipandang David, mampu memberi tekanan pada pergerakan nilai tukar rupiah. Apalagi, seperti kita ketahui, rupiah pada pekan lalu sudah mengalami pelemahan bahkan selama lima hari berturut-turut. Bila menilik kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah pada 6 Juni 2022 ditutup melemah ke Rp 14.462 per dollar AS, pelemahan berlanjut dengan pada 10 Juni 2022 rupiah ditutup melemah ke Rp 14.569 per dollar AS. Namun, di sisi lain, arus modal asing masih mengalir masuk ke pasar saham, seiring dengan valuasi Indonesia yang masih murah sehingga masih tetap memberikan kekuatan pada pergerakan nilai tukar rupiah. Dengan kondisi ini, David tetap mengimbau agar Indonesia berhati-hati, dan ia tetap berharap tren aliran modal asing yang masuk ke pasar saham tetap bertahan di kala potensi tren keluarnya arus modal asing dari pasar SBN. Ini untuk menjaga ketahanan nilai tukar rupiah. Apalagi, saat ini perekonomian Indonesia sudah mulai bergerak, kebutuhan akan barang impor meningkat seiring mobilitas yang mulai tinggi. Dengan demikian, aktivitas impor akan makin naik dan kebutuhan akan valuta asing (valas) juga bisa tersundut, yang kemudian turut menambah beban mata uang Garuda.
Baca Juga: Bank Dunia Sebut Pengetatan Kebijakan Moneter Bisa Hambat Modal Asing ke Asia Pasifik Kabar baiknya, David masih melihat kekuatan nilai tukar rupiah masih ada. Hal ini seiring dengan perhitungan
real effective exchange rate Indonesia yang masih lebih baik daripada negara sebaya. “Sejauh ini rupiah masih cukup baik. Bila membandingkan kurs secara riil, membandingkan inflasi dengan angka ekspor impor, secara fundamental kita lebih kuat daripada negara-negara sebaya. Artinya, daya saing produk kita masih baik,” tuturnya. Dengan kondisi ini, David memperkirakan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek akan bergerak di kisaran Rp 14.600 per dollar AS hingga Rp 14.800 per dollar AS. Memang, ada potensi pelemahan di sini, tetapi David berharap pelemahan nilai tukar rupiah tidak terjadi secara mengejutkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .