Ekonom: Mitigasi Perubahan Iklim Menjadi Kunci Pengendalian Inflasi Pangan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Antisipasi perubahan iklim menjadi kunci pengendalian inflasi pangan untuk saat ini.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan, bila pemerintah efektif antisipasi perubahan iklim dan mitigasi banjir, maka harga ditingkat konsumen terjaga sehingga inflasi pangan bisa terkendali. Sebaliknya, jika gagal inflasi pangan bakal terus terkerek.

Dia bilang, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada April mulai memasuki kemarau di sebagian wilayah dengan puncak kemarau di Juli dan Agustus. Periode kemarau di beberapa daerah ini diprediksi akan lebih kering.


“Sehingga sangat membutuhkan keberpihakan dan upaya serius dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim ini,” terangnya.

Asal tahu saja, cuaca ekstrem dan musibah banjir mengganggu aktivitas pertanian di sebagian wilayah Indonesia. Tak hanya itu, sistem pertanian juga dinilai kurang responsif terhadap perubahan iklim.

Eliza mengatakan, banjir akan membuat kualitas padi menurun. Selain itu, banjir yang melanda sejumlah sentra beras diprediksi bakal berdampak pada penurunan produksi.

“Begitu juga dengan komoditas cabai dan bawang merah yang pada musim hujan akan mudah terkena hama dan penyakit serta pembusukan, sehingga menganggu supply,” ujarnya kepada Kontan.co.id, pekan lalu.

Baca Juga: Inflasi Diprediksi Melaju Tahun Ini, Bagaimana Efeknya ke APBN?

Eliza mengungkapkan, sistem pertanian Indonesia juga kurang responsif terhadap perubahan iklim dan belum ada strategi menyeluruh untuk mitigasi dampak tersebut. 

“Sejauh ini kita lihat dari sisi anggaran untuk pertanian cerdas iklim misalnya, Kementerian Pertanian dengan segala keterbatasan anggarannya hanya mampu menganggarkan rerata Rp 241,73 miliar pada 2018-2020,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Eliza, anggaran dana alokasi khusus (DAK) untuk irigasi di tahun 2023 sebesar Rp 1,69 triliun, anggaran ini dinilai kecil di mana harus dibagi ke berbagai daerah sehingga tidak bisa mendongkrak perbaikan sistem irigasi yang rusak.

“Perlu dana jumbo untuk bisa merevitalisasinya, karena kalau sedikit dananya ini nanggung revitalisasinya,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi