Ekonom: Pembangunan infrastruktur harus memacu manufaktur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia dianggap belum memiliki pertumbuhan ekonomi yang kuat lantaran pondasi di sektor manufaktur masih lemah.

Ekonom BCA David Sumual mengatakan, melihat pengalaman negara lain yang pindah dari middle income country ke high income seperti China, Jepang dan Korea Selatan, mereka mencapai pertumbuhan tinggi saat porsi investasinya besar. Biasanya porsi investasi di atas 40%.

“Sementara Indonesia konsumsinya yang besar. Dengan demikian, investasi harus dipacu,” kata David kepada Kontan.co.id, Rabu (17/1).


Lalu dari situ, David mengatakan, Indonesia bisa mengarah pada sektoralnya. Sekarang Indonesia kurang ideal karena lebih andalkan komoditas. Sebut saja perkebunan dan migas.

“Harusnya, Indonesia mengarahkan ke industri pengolahan, investasinya juga arahkan ke sana,” ucap dia.

Infrastruktur yang sedang gencar dibangun oleh pemerintah nantinya harus bisa dukung berkembangnya manufaktur. Sebab, jarang ada negara yang bisa jadi pendapatan menengah atas tanpa melewati sektor manufakturnya dulu.

Lebih tepatnya lagi, yang perlu didorong adalah manufaktur yang berorientasi ekspor. Sebab, dari sana negara akan mendapat devisa juga. “Kalau utang luar negeri besar tapi tidak dapat devisa dari ekspor, debt service ratio-nya akan bermasalah. Jadi lagi lagi, Indonesia belum bisa dibilang ideal,” katanya.

Menggenjot pertumbuhan ekonomi dari konsumsi juga bisa dikatakan tidak berkelanjutan karena harus dipenuhi baik dari produksi dalam negeri dan impor. Sementara itu, impor juga beberapa belum ideal, masih lebih banyak bahan baku impor dan barang modal.

Mungkin Indonesia kita bisa mencontoh Korea yang juga dulu masuknya dari indiustri tekstil di tahun 60-an. Dasar pondasinya dari ekspor, baru infrastruktur, lalu mereka kembangkan industri berat untuk kembangkan sektor otomotif. Kemudian setelah itu masuk ke elektronik, lalu hi-tech dan saat ini baru masuk ke industri hiburan dan jasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini