Ekonom: Perlambatan China pengaruhi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam jangka pendek, melambatnya ekonomi China yang berimbas pada kinerja ekspor Indonesia tidak akan banyak berpengaruh pada pertumbuhan PDB Indonesia secara keseluruhan. Namun jika terus berlanjut, perlambatan ekonomi China dapat menghalangi Indonesia mencapai target pertumbuhan yang lebih tinggi. 

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, porsi pertumbuhan ekspor terhadap pertumbuhan PDB saat ini belum begitu besar atau berkisar 17,6% terhadap struktur PDB pada kuartal II-2019. Porsi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga yang mencapai 56%. 

“Jadi untuk jangka pendek, gejolak eksternal yang memengaruhi perdagangan internasional memang tidak terlalu berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tutur Fithra, Minggu (13/10). 


Baca Juga: Ada BSA, Ekonom BCA: Indonesia masih belum perlu menggunakannya

Kendati begitu, bukan berarti fenomena ini bisa diabaikan. Sebab dalam jangka menengah panjang, perlambatan ekonomi China maupun negara-negara tujuan ekspor utama lainnya bisa menghambat pencapaian target pertumbuhan Indonesia. 

Seperti yang diketahui dan disampaikan pemerintah beberapa kali, Indonesia butuh meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk bisa naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi (high-income country).

Fithra menghitung, dibutuhkan pertumbuhan rata-rata 6,5% per tahun sampai 2030 jika Indonesia mau keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap).

Baca Juga: Ekonomi China tertekan, Indef: Target pertumbuhan Indonesia semakin menantang

Untuk mencapai level pertumbuhan setinggi itu, dua pendorongnya ialah investasi dan ekspor. “Di sinilah kekhawatirannya jika pertumbuhan ekspor Indonesia tetap rendah untuk jangka menengah panjang,” kata Fithra.

Oleh karena itu, Fithra menilai dalam jangka pendek pemerintah harus terus mempertahankan sinyal-sinyal positif pada investor melalui kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang konkret. Sinyal yang positif tersebut berpotensi mengundang investasi masuk yang selanjutnya mendorong arus perdagangan internasional yang lebih positif. 

Sementara untuk jangka panjang, pemerintah harus serius mendorong produktivitas, meningkatkan inovasi, dan memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan. Hal-hal tersebut menentukan daya saing Indonesia dalam memperoleh penanaman modal. 

Baca Juga: Dua saham emiten baja, BAJA dan ISSP masuk top gainers, mana yang menarik?

“Untuk perdagangan, pemerintah harus menetapkan kebijakan agresif dalam menyasar rekan-rekan dagang non-tradisional seperti Afrika, Afrika Selatan, Amerika Selatan, Rusia, dan Australia. Karena negara tujuan utama ekspor dan Asean memiliki koneksi kuat sekali dengan China dan ikut terdampak perlambatan,” Fithra menerangkan. 

Akhir tahun nanti, Fithra memiliki dua skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, ekonomi mampu tumbuh maksimal 5,1% sehingga ada potensi peningkatan pertumbuhan pada 2020 dan 2021 meski masih terbatas. 

Kedua, skenario terburuk di mana ekonomi Indonesia tumbuh hanya 4,9% sehingga menjadi tekanan bagi prospek pertumbuhan di tahun-tahun berikutnya. 

“Kalau CAD melebar signifikan, pertumbuhan bisa di bawah 5%. Kalau begitu, tahun 2020-2021 bisa jadi lebih rendah lagi karena tekanan domestik dan eksternal makin besar. Belum lagi risiko capital outflow jika krisis keuangan global yang dikhawatirkan benar-benar terealisasi,” ujar Fithra. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .