Ekonom : Potensi pelemahan rupiah akibat kenaikan suku bunga AS tak akan parah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat berpotensi melemah pasca libur lebaran akibat kenaikan suku bunga acuan AS yang hampir pasti terwujud. Namun, rupiah diprediksi tidak akan melemah terlalu dalam seperti beberapa waktu sebelumnya.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meyakini, potensi pelemahan rupiah akibat efek kenaikan suku bunga acuan AS tidak akan separah pada bulan Mei lalu. Kala itu, rupiah bahkan sempat menyentuh level Rp 14.209 per dollar AS di pasar spot.

Salah satu faktor yang membuat tekanan rupiah kemungkinan tidak terlalu besar adalah keputusan BI yang kembali menaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75% pada akhir Mei. Kebijakan tersebut dianggap sebagai langkah antisipasi BI terhadap kenaikan suku bunga acuan AS.


Maklum, Rapat Dewan Gubernur BI baru akan berlangsung pada 27 Juni—28 Juni nanti alias dua minggu pasca agenda FOMC. Jika BI tak segera bergerak cepat, bisa saja rupiah terkoreksi cukup dalam sebelum kenaikan suku bunga acuan AS terealisasi. “Jadi BI memang berusaha selalu mendahului The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan,” kata David, Jumat (8/6).

David berpendapat, besar atau tidaknya pengaruh kenaikan suku bunga acuan AS terhadap pergerakan rupiah bergantung pada pernyataan The Fed soal arah kebijakan moneter AS ke depannya.

Dengan kata lain, para pelaku pasar tengah menanti berapa kali lagi The Fed akan menaikan suku bunga acuan di negara tersebut di sisa tahun ini. “Pasar juga menanti respons dari Bank Sentral negara lain pasca kenaikan Fed Fund Rate,” tambah David.

Selain itu, ia menilai, harga minyak dunia yang sudah mulai kembali turun membuat potensi pelemahan rupiah tidak akan parah. Jika dalam pertemuan 22 Juni nanti OPEC memutuskan menambah produksi minyak, hal itu bisa menjadi berita yang positif bagi rupiah.

Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail optimistis rupiah tidak akan anjlok separah Mei lalu. Hal ini mengingat pengaruh efek pembagian dividen tidak lagi besar pada Juni. Terlebih lagi, pemerintah pada bulan lalu sudah menerbitkan surat utang global untuk menarik kembali dana dari investor asing.

Ia juga yakin apabila neraca perdagangan Indonesia dapat surplus ketika dirilis 25 Juni nanti, ada potensi tekanan terhadap rupiah akan berkurang. Sentimen seperti itu dibutuhkan mengingat cadangan devisa Indonesia sudah cukup terkuras akibat digunakan oleh BI untuk mengintervensi rupiah.

Sekadar informasi, cadangan devisa Indonesia pada bulan Mei kembali berkurang menjadi US$ 122,91 miliar.

Menurut perhitungan Ahmad, jika kenaikan suku bunga acuan AS benar-benar terjadi, dalam jangka pendek rupiah masih akan bertahan di kisaran Rp 13.900—14.000 per dollar AS. 

Hingga akhir tahun nanti, ia meramal rupiah akan berada di rentang Rp 14.000—14.100. Asumsi tersebut diperoleh dengan mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak tiga kali di tahun ini.

Sementara itu, David memprediksi rupiah akan bergerak di kisaran Rp 13.800—14.000 per dollar AS hingga akhir Juni nanti. Pada akhir tahun, David meyakini rupiah berpeluang berada di bawah level Rp 14.000 per dollar AS. Namun, hal itu bergantung pada kebijakan BI ke depannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi