Ekonom prediksi utang luar negeri swasta berpotensi tumbuh lebih tinggi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) swasta per akhir Februari 2019 sebesar US$ 194,91 miliar atau naik 10,8% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (yoy). Laju pertumbuhan ULN swasta tersebut relatif sama dengan bulan sebelumnya.

Kendati begitu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, laju pertumbuhan ULN swasta tersebut masih berpotensi naik ke depan.  "Saat ini, swasta mungkin memang mengerem utang, terutama untuk modal kerja dan investasi karena masih wait and see terkait pemilihan umum," ujar Rendy kepada Kontan.co.id, Selasa (17/4).

Ini terlihat dari data tujuan penggunaan ULN swasta pada Februari lalu. BI melaporkan, penggunaan utang untuk modal kerja mengalami penurunan tipis menjadi US$ 59,76 miliar, dari US$ 59,79 miliar pada bulan sebelumnya.


Begitu juga dengan ULN yang ditujukan untuk investasi menurun menjadi US$ 63,48 miliar, dari sebelumnya US$ 63,80 miliar. Meningkatnya laju pertumbuhan ULN swasta ke depan, menurut Rendy, seiring dengan aktivitas produksi dan ekspansi bisnis perusahaan-perusahaan swasta di sepanjang sisa tahun ini.

Setelah peta pemerintahan lebih jelas, perusahaan akan cenderung lebih percaya diri untuk merencanakan dan melakukan ekspansi.

Selain itu, meningkatnya pertumbuhan ULN swasta tahun ini juga akan dipicu oleh minimnya likuiditas yang tersedia di dalam negeri. "Posisinya, saat ini swasta sulit mendapat sumber pembiayaan di dalam negeri. Untuk menerbitkan obligasi korporasi pun, swasta harus menawarkan yield lebih tinggi karena bersaing dengan obligasi pemerintah," terang dia.

Seperti yang diketahui, pemerintah gencar menerbitkan surat berharga negara untuk ritel di tahun ini. Rencananya, pemerintah menerbitkan sepuluh seri SBN ritel, serta melakukan lelang surat utang negara (SUN) domestik dengan total keseluruhan sekitar Rp 652 triliun.

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov juga menyoroti tergerusnya likuiditas domestik akibat penerbitan SBN ritel yang masif tahun ini.

Apalagi, dengan kondisi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan yang hanya tumbuh sekitar 6,5% tahun lalu, lebih lambat dari pertumbuhan kredit yang hampir 12%. "Ketika sektor perbankan kekeringan likuiditas, ini akan berimplikasi ke bunga kredit masyarakat. Sektor riil pun makin sulit dapat pembiayaan di dalam negeri dari perbankan," ujar Abra.

Melihat kecenderungan ini, Rendy mengimbau agar pemerintah lebih waspada dalam memantau pertumbuhan ULN swasta. Pasalnya, pertumbuhan ULN swasta yang terlalu cepat bisa berdampak pada perekonomian dalam negeri secara makro.

Pertama, meningkatnya utang swasta dapat turut meningkatkan risiko sektor keuangan domestik. "Saat utang swasta naik terlalu tinggi, ini bisa menjadi preseden buruk bagi penilaian lembaga rating kredit. Ini yang terjadi dan menjadi masalah di China saat ini," kata Rendy.

Kedua, saat ULN swasta naik maka kebutuhan terhadap dollar juga akan meningkat, terutama jika ada banyak nilai utang yang mengalami jatuh tempo. Jika tak diantisipasi, ini dapat menjadi pemicu depresiasi nilai tukar rupiah ke depan.

"Selain itu, juga perlu dipantau rasio utang dengan devisa. Di tengah penurunan kinerja ekspor, rasio utang bisa jadi makin besar dan ini menambah risiko," ujar Rendy.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli