JAKARTA. Selasa besok (7/10), Bank Indonesia (BI) akan mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan. Dalam rapat itu BI akan menentukan besaran suku bunga acuan atau BI rate. Menanggapi hal itu, sejumlah ekonom yang dihubungi KONTAN, Senin (6/10) mengatakan, belum waktunya bagi BI menurunkan suku bunga. Belum ada urgensi bagi BI juga untuk menaikkan kembali suku bunga. Dengan begitu maka diperkirakan BI rate akan tetap dilevel 7,5% Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dodi Arifianto mengatakan, kebijakan moneter BI ke depan tergantung pada dua hal.
Pertama, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Kedua, pemberian stimulus Bank Sentral Amerika The Fed berakhir bulan ini dan bagaimana tingkat kecepatan kenaikan suku bunga.
Jika benar pasangan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) untuk menaikkan harga BBM pada bulan November besok sebesar Rp 3.000 per liter, maka inflasi hingga akhir tahun 2014 akan sebesar 6%-7%. Namun dampak kumulatif secara penuh hingga tahun depan yaitu Maret atau April inflasi bisa menuju ke level 9%. Untuk mengantisipasi dampak inflasi inilah, BI perlu menaikkan suku bunga hingga 50 bps apabila memang terjadi kenaikan Rp 3.000 per liter pada bulan November. "Kalau tidak ada kenaikan BBM, suku bunga seperti sekarang tidak apa-apa," ujar Dodi. Menurut dirinya, kenaikan suku bunga The Fed yang diprediksi terjadi pada tahun depan tidak akan kencang. Perkiraan Dodi berkisar 1%-1,25% hingga akhir tahun 2015. Kenaikan suku bunga yang akan dilakukan BI lebih dikarenakan rencana kenaikan BBM. Maka dari itu, untuk menjaga dampak kenaikan yang terjadi akibat BBM, BI akan mempertahankan suku bunga pada level 7,5%. Kepala Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) A. Prasetyantoko mengatakan belum ada alasan bagi BI untuk menaikkan suku bunga dengan isu The Fed yang bergulir. Apabila terdapat komplikasi dari kenaikan BBM dan kenaikan suku bunga The Fed pada saat yang sama tahun depan maka BI perlu menaikkan suku bunga. Kalau kenaikan harga BBM dilakukan pada awal November dan besarannya Rp 2.000 per liter maka dampak ke inflasi masih terkendali. Sementara itu, apabila kenaikannya dilakukan pada awal tahun 2015 dan kenaikannya langsung tinggi yaitu Rp 3.000 per liter maka inflasi akan tinggi. Risiko kenaikan BBM tahun depan tinggi karena diduga kuat berbarengan dengan kenaikan suku bunga The Fed. "Kalau berbarengan, BI bisa menaikkan suku bunga hingga 8,5%," tutur Prasetyantoko. Ekonom DBS Gundy Cahyadi mengaku alasan lain BI belum akan memangkas suku bunganya adalah untuk menjaga defisit transaksi berjalan sesuai dengan target.
Di sisi lain menjaga stabilitas pasar keuangan. Bulan September kemarin adalah bulan di mana pasar Indonesia masih rentan terhadap risiko global. "Ini jadi bukti bahwa Indonesia masih relatif rentan dibanding negara rekan regional lainnnya," tukas Gundy. Ekonom Danamon Dian Ayu Yustina melihat, hingga akhir tahun belum akan ada perubahan suku bunga. Selain karena ada tekanan pada rupiah, BI akan berhati-hati pada apa yang bisa terjadi pada tahun depan. Untuk rupiah, Dian melihat, pada akhir tahun rupiah bisa pulih ke level Rp 12.000. Ada permintaan dolar pada akhir-akhir bulan yang rendah dan adanya sentimen lebih baik dari kebijakan kenaikan harga BBM. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa