Ekonom Sarankan Pemerintah Tunda Penerapan PPN 11%, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira meminta pemerintah menunda penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% pada April mendatang.

Sebab menurutnya, jika diterapkan pada April bukan momentum yang tepat karena bersamaan dengan momentum Ramadhan, dan juga naiknya harga pangan serta energi secara kontinu, sehingga akan menambah beban kepada konsumsi rumah tangga jadi bertambah.

“Sebenarnya kenaikan tarif PPN menjadi 11% ketika konsumsi rumah tangga sudah mulai solid tidak masalah ya, kalau sekarang tentu momentum nya tidak tepat,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (30/3).


Adapun menurutnya, jika kenaikan PPN ini untuk menambah penerimaan negara, maka pemerintah bisa mengandalkan dulu dari windfall karena naiknya harga komoditas global. Sehingga penambahan dari tarif PPN dinilai tidak mendesak.

Baca Juga: Terdampak Kenaikan Tarif PPN, Inflasi Tahun Ini Diprediksi Lebih dari 4%

Hasil hitungannya, jika harga minyak di atas US$ 100 sampai US$127 per barel, terdapat tambahan penerimaan pajak dan Penerimaan negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp100 triliun hingga Rp 192 triliun dari selisih harga Indonesia Crude Price (ICP) di asumsi makro US$ 63 per barel.

“Tanpa kenaikan tarif PPN pemerintah sudah banyak dibantu oleh harga komoditas sawit dan batubara,” jelas Bhima.

Dari momentum gejolak ekonomi pada April tersebut, Bhima memperkirakan inflasinya akan sebesar 1,5% sampai 1,95% secara mtm. Menurutnya, sampak dari inflasi tersebut dan juga ada momentum Ramadhan yang idealnya bisa mendorong konsumsi rumah tangga secara optimal malah terhambat inflasi yg tinggi.

“Prilaku masyarakat bisa berubah misalnya migrasi ke konsumsi barang yg lebih terjangkau, atau melakukan penghematan pembelian barang durable/peralatan rumah tangga, elektronik dan lainnya,” imbuh Bhima.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari