Ekonom sepaham dengan poin-poin dalam policy paper bank sentral se-ASEAN



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah ekonom melihat arah policy paper Capital Account Safeguard Measures in the ASEAN Context yang dirancang bank sentral Indonesia dengan Malaysia, Thailand dan Filipina merupakan upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar negara emerging market yang tentunya memiliki perbedaan karakteristik dengan negara lain.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Kontan.co.id, beberapa ekonom setuju dengan upaya pembentukan policy paper tersebut mengingat tujuan utamanya menjaga stabilitas nilai tukar.

Kendati demikian, ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat policy paper ini masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam untuk melihat aspek keuntungan dan kerugiannya.


"Misalnya sering kali kita terjadi gejolak yang membuat lebih ketat terhadap aliran modal. Sehingga tinggal seberapa besar skala restricted (ketat), karena kalau semakin ketat investor tidak mau karena sulit repatriasi, tapi juga tidak mau terlalu bergejolak," jelas David, Rabu (10/4).

Sehingga memang perlu kajian terkait dosis, skala dan seberapa lama nantinya capital flow management (CFM) ini diberlakukan. David menyadari bahwa ada perbedaan batas jangka waktu yang diinginkan antara lembaga internasional dengan ASEAN.

Pertimbangan lainnya, volatilitas memang bisa sangat mengganggu kondisi fundamental yang pada akhirnya membuat kepercayaan investor turun. Kondisi ini disebabkan pasar finansial negara berkembang belum dalam sehingga daya penyerap kejut alias short absorber lebih kecil. Maka tugas utama negara emerging market adalah memperdalam pasar keuangan agar daya penyerap kejutnya lebih kuat.

Senada dengan David, ekonom Asia Development Bank Institute (ADBI), Eric Sugandi juga melihat ini sebagai upaya beberapa negara ASEAN untuk menjaga stabilitas nilai tukar agar sektor riil dan ekspor mereka tidak terganggu oleh keluarnya arus modal.

Apalagi secara historis, pada krisis 1997-1998 pelemahan mata uang Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina bisa memukul parah sektor riil mereka. Sedangkan sejak awal 2000-an keterbukaan negara-negara tersebut terhadap investasi portofolio asing meningkat.

Peningkatan ini semakin kuat setelah Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Uni Eropa melonggarkan kebijakan moneter untuk merespon krisis finansial global tahun 2008-2009

"Tentunya negara-negara ini juga mesti mengantisipasi pembalikan arus modal jika negara-negara maju mulai memasuki fase tightening ketika ekonomi AS dan Uni Eropa pulih," jelas dia.

Dengan adanya policy paper ini, Eric melihat ASEAN bisa memberi usulan definisi CFM kepada IMF terkait perbedaan karakteristik yang dimiliki ASEAN. Sehingga nantinya IMF bisa melihat CFM sebagai sesuatu yang lebih fleksibel terutama untuk negara-negara emerging market yang pasar finansialnya belum dalam.

"Jadi ini hanya sebagai referensi, karena setiap negara pun memiliki kebijakan CFM yang berbeda," jelas Eric.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyuarakan hal serupa. Josua sepakat bahwa ASEAN memerlukan kebijakan yang idiosinkratik atau sesuai dengan kondisi negara-negara ASEAN. "Mengingat kerentanan perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN apabila terjadi ketidakstabilan di pasar keuangan," jelas Josua.

Dewasa ini, integrasi ekonomi melalui hubungan keuangan dan perdagangan memungkinkan transmisi guncangan di negara maju merambat ke negara emerging market yang menganut sistem ekonomi terbuka.

Melihat sejarah pulihnya perekenomian negara maju mengindikasikan berhentinya pelonggaran kebijakan moneter. Sehingga mengarah pada mengetatnya likuiditas global. "Kondisi tersebut dialami oleh sebagian besar pasar keuangan negara berkembang pada tahun lalu," imbuh dia.

Dalam mengelola volume dan volatilitas aliran modal yang belum pernah terjadi sebelumnya, negara berkembang termasuk ASEAN memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan aliran modal.

Ketika ruang kebijakan tersedia, negara-negara dapat menyesuaikan kebijakan moneter dan fiskal serta menggunakan fleksibilitas nilai tukar dan manajemen cadangan devisa untuk mengelola aliran modal.

Namun demikian, ketika instrumen kebijakan konvensional ini tidak cukup efektif, maka kebijakan pengelolaan aliran modal dan makroprudensial memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan menjaga ketersediaan likuiditas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .