Ekonom: Turunnya BI rate menjadi stimulus positif



JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunganya menjadi stimulus positif bagi perbankan dalam negeri agar bisa menurunkan suku bunga kreditnya. Kalau itu dilakukan, maka swasta bisa mengalihkan pinjamannya ke perbankan dalam negeri.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, rasio utang terhadap PDB yang turun pada tahun lalu dikarenakan pemerintah membayar utang jatuh tempo yang cukup besar pada akhir tahun. Siklusnya, setiap akhir tahun memang selalu ada pembayaran utang jatuh tempo pemerintah.

Padahal kalau melihat situasi pada triwulan IV seharusnya rasio utangnya naik karena PDB Indonesia dalam rupiah. Nilai tukar rupiah yang cenderung terdepresiasi membuat perhitungan terhadap rasio meningkat. BI sendiri mencatat pada triwulan IV-2014 secara rata-rata rupiah melemah sebesar 3,9% bila dibanding triwulan III ke level Rp 12.244 per dollar Amerika Serikat (AS).


Untuk utang publik, menurut Lana, tidak perlu dikhawatirkan. Yang perlu dikhawatirkan adalah utang swasta. Dengan penurunan BI rate 25 bps menjadi 7,5% diharapkan adanya penurunan suku bunga kredit dari perbankan. "Sehingga swasta ada perpindahan untuk meminjam dari perbankan dalam negeri," ujar Lana ketika dihubungi KONTAN, Rabu (18/2).

Risiko terhadap utang swasta tahun ini lebih tinggi dibanding tahun lalu. Pasalnya, menurut Lana, dengan kondisi global yang belum pasti terutama kebijakan suku bunga Amerika maka rupiah selama semester pertama 2015 bisa mengarah ke Rp 13.000 per dollar AS. Kepala Ekonom BII Juniman menilai, rasio utang 32,91% dari PDB adalah rasio utang yang melampaui batas aman.

Batas aman rasio utang adalah di bawah 30% sehingga pada tahun ini pemerintah bersama dengan BI harus bisa menurunkan rasio ke level tersebut. Menurut Lana, ada dua cara yang bisa dilakukan untuk menurunkan laju utang.

Pertama, pemerintah bersama dengan BI harus mengendalikan uang swasta.

Langkah BI yang mengeluarkan aturan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian ULN swasta yang salah satunya soal hedging sudah baik. Hanya saja, harus ada pengawasan yang ketat agar swasta mengikuti aturan. Kalau perlu, harus ada efek jera berupa hukuman atau denda yang besar apabila tidak mengikuti aturan.

Kedua, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kalau ekonomi meningkat maka PDB Indonesia naik sehingga rasio bisa turun. "Rasio utang harus bisa diturunkan tahun ini," ujar Lana.

Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) mencatat rasio utang Indonesia pada tahun 2014 sebesar 32,91% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio ini melejit dibanding akhir tahun 2013 yang tercatat 29,06%.

Bila melihat data rasio utang per triwulan, rasio utang pada akhir triwulan IV 2014 yang sebesar 32,91% dari PDB sudah mengalami penurunan. Pada triwulan III, posisi rasio utang Indonesia adalah 33,34%. Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan IV- 2014 adalah US$ 292,58 miliar, turun 0,4% dibanding posisi pada akhir triwulan III US$ 293,68 miliar.

Penurunan ULN pada akhir periode 2014 ini disebabkan utang publik yaitu pemerintah dan BI menjadi US$ 129,74 miliar, dari posisi sebelumnya US$ 132,94 miliar pada triwulan III. Dengan perkembangan tersebut, tidak hanya rasio ULN terhadap PDB yang susut, namun juga rasio ULN terhadap debt service ratio (DSR) turun dari 46,36% menjadi 46,26% pada triwulan IV-2014.

Khusus utang swasta, justru mengalami peningkatan. Pemegang terbesar porsi ULN hingga 55,7% ini pada triwulan IV- 2014 nominalnya mencapai US$ 162,84 miliar, naik US$ 2,1 miliar dari posisi akhir triwulan III US$ 160,74 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto