Ekonom UGM: Obat rupiah ialah leadership Jokowi



Pengantar

Nilai tukar rupiah terus terpuruk di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Kemarin, nilai tukar rupiah ditutup Rp 13.237 per dollar AS, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia. Kini rupiah kian mendekati zona Rp 13.500 per dollar AS.

Pelemahan rupiah kemarin bahkan terjadi ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca dagang Indonesia bulan Februari yang mengalami surplus sebesar US$ 738,3 juta, surplus untuk ketiga kalinya sejak Desember 2014. Fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya baik-baik saja. Apalagi Cadangan Devisa kita (Februari) naik ke posisi US$ 115,5 miliar.


Pemerintah juga habis-habisan meyakinkan pasar bahwa defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) akan membaik. Pekan lalu, pemerintah telah mengeluarkan delapan jurus kebijakan yang bermuara pada perbaikan CAD tahun ini. Kemarin sore (16/3), pemerintah menambah dua kebijakan baru untuk memperkuat otot rupiah.

Pertama, mempermudah fasilitas tax allowance kepada perusahaan berorientasi ekspor dan perusahaan yang melakukan investasi kembali di dalam negeri. Kedua, memperbanyak daftar negara yang diberikan pembebasan visa.

Data ekonomi maupun berbagai upaya pemerintah tampaknya belum berhasil meyakinkan pasar. Jangan-jangan memang ada faktor lain penyebab rupiah terus letoi. Pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetyantono menilai, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini bisa jadi disebabkan oleh keraguan pasar melihat kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Pasar ingin melihat Presiden Jokowi menunjukkan kekuatan kepemimpinannya (leadership)," begitu kata Tony.

Berikut ini analisis Tony dalam wawancara dengan KONTAN, kemarin (16/3). Analisis ini juga dimuat di Harian KONTAN edisi 17 Maret 2015.

"Obatnya Leadership Jokowi"

Oleh Tony Prasetiantono, Ekonom Universitas Gadjah Mada

Paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk memperbaiki nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) berdimensi jangka menengah dan panjang. Pada dasarnya, paket kebijakan itu bagus. Tapi, paket kebijakan itu tak serta merta bisa menguatkan  rupiah. Manfaatnya paling cepat semester depan.

Saya melihat ada faktor lain yang juga mempengaruhi pelemahan rupiah. Sisi politik yang tidak stabil turut mendominasi pelemahan rupiah dibandingkan fundamental ekonomi itu sendiri.

Semua itu, bisa saja karena pasar ingin melihat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kekuatan leadership-nya. Ini agar pasar percaya untuk kembali memegang rupiah.

Saya melihat, akhir-akhir ini, leadership Presiden Jokowi terombang-ambing. Kualitas kepemimpinannya terganggu berbagai isu politik dan hukum. Sebut saja, munculnya ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian RI beberapa waktu lalu.

Kondisi tersebut, akhirnya membuat para pemilik modal jengah memegang rupiah. Investor lebih nyaman mengoleksi dollar AS.

Sesungguhnya, fundamental ekonomi kita baik-baik saja, kok. Bahkan, neraca perdagangan Indonesia pada Februari sudah surplus. Begitu juga dengan cadangan devisa ikut membaik. Lalu, apa lagi?        

Jadi, satu-satunya penjelasan untuk menolong pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, hanya  soal faktor non-ekonomi. Ketidakstabilan politik menjadi sentimen negatif. Hal ini yang harus diperbaiki pemerintah. Jadi sudah bukan variabel ekonomi lagi yang bisa diutak-atik.

Saya memperkirakan, nilai tukar rupiah tidak akan terus menerus melemah. Soalnya, AS juga akan merugi jika dollarnya terlalu kuat, daya saing produk ekspor AS akan berkurang.

Jadi, saya memperkirakan, nilai tukar rupiah akan berada di level Rp 13.000-an atau tidak melemah ke Rp 13.500 dan Rp 14.000 per dollar AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris