Ekonom: Waspadai multiplier efek perlambatan China



JAKARTA. Perlambatan China kian jelas. Untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu tersebut mencatat level paling rendah yaitu 7%. Berbagai langkah yang telah diambil untuk mendongkrak ekonomi seperti memangkas suku bunga ternyata tidak berhasil. Biro statistik nasional China mempublikasikan ekonomi China triwulan pertama hanya tumbuh 7%. Pada triwulan terakhir tahun lalu, ekonomi China masih tumbuh 7,4%. Kepala Ekonom BII Juniman mengatakan ekonomi 7% adalah ekonomi terendah China sejak 2009. Perlambatan ini dipicu oleh rendahnya ekspor, konsumsi dan investasi. Lesunya ekonomi China ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, ekspor. Menurut Juniman, dampak perlambatan China terhadap kinerja perdagangan Indonesia sudah jelas terlihat pada triwulan pertama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor non migas ke Indonesia turun hingga 36,51% dari US$ 4,93 miliar dari Januari-Maret 2014 menjadi US$ 3,13 miliar pada Januari-Maret 2015. "Ini menandakan permintaan China benar-benar melambat dan ekspor kita ke sana tertekan," ujar Juniman ketika dihubungi KONTAN, Kamis (16/4). Ekspor Indonesia ke negara yang pernah tumbuh maksimal 10,41% pada 2010 tersebut didominasi oleh minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. Rendahnya harga komoditas juga mempengaruhi anjloknya ekspor. Kedua, impor. Perlambatan ekonomi domestik China akan membuat industri di sana mencari pasar ke negara lain. Alhasil, impor barang-barang China yang masuk ke Indonesia akan melimpah. Hal ini jelas terlihat dari data impor non migas asal China yang menduduki posisi pertama pada periode Januari-Maret 2015 yaitu mencapai US$ 7,46 miliar atau memakan porsi 24,37% dari pangsa impor keseluruhan. Bila dibanding periode yang sama tahun lalu, impor tersebut naik 4,29% di mana impor non migas asal China pada Januari-Maret 2014 sebesar US$ 7,15 miliar. Hasilnya, neraca perdagangan Indonesia dan China mencatat defisit hingga US$ 4,32 miliar. Ini adalah defisit tertinggi di mana defisit neraca perdagangan kedua ditempati oleh Australia US$ 1,22 miliar dan Thailand US$ 921,6 juta. Ketiga, investasi. Perlambatan China akan berpengaruh terhadap investasi Indonesia karena China dan Indonesia masuk dalam kategori negara berkembang. "Karena itu kita harus buat ekonomi kita tumbuh," terangnya. Di saat ekonomi China melambat maka ada peluang investor asing untuk masuk ke Indonesia karena ada harapan ekonomi Indonesia tumbuh. Dalam hal ini, Indonesia harus mencari pangsa pasar lain yang sedang tumbuh seperti Amerika dan India. Juniman mengakui kalau belanja infrastruktur pemerintah bisa terealisasi maskimal maka ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,5%. Namun apabila tidak maka ekonomi Indonesia akan sama seperti tahun lalu yang hanya tumbuh 5,02%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan