Ekonom: Waspadai peluang berlanjutnya penurunan cadangan devisa pada bulan depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia melaporkan posisi cadangan devisa (cadev) Indonesia mengalami penurunan per akhir April 2019 menjadi US$ 124,3 miliar.

Meski turun tipis, para ekonom mengamati adanya potensi berlanjutnya penurunan cadev pada Mei mendatang di tengah makin tingginya kebutuhan valuta asing (valas) di dalam negeri sepanjang periode kuartal kedua ini.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, penurunan cadev disebabkan oleh arus masuk modal asing (capital inflow) di portfolio yang sudah mulai mengalami moderasi pada April lalu.


Berdasarkan keterangan Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemkeu), nilai kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) berkurang Rp 6,78 triliun sepanjang bulan April lalu menjadi Rp 960,34 triliun. "Penerbitan surat utang valas juga tidak banyak sehingga likuiditas valas dalam negeri cenderung flat," ujar David, Rabu (8/5).

Selain itu, penurunan cadev tak terlepas dari kinerja ekspor yang masih mengalami kontraksi. Meski diiringi oleh berkurangnya impor di sisi lain, namun David menilai ini tetap memberi dampak terhadap arus penerimaan valas.

Ke depan, mempertahankan posisi cadev akan makin menantang. Pasalnya, ada beberapa faktor yang membuat kebutuhan valas semakin tinggi.

Pertama, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut ada dampak dari faktor musiman periode Ramadan dan jelang Lebaran yaitu meningkatnya kebutuhan impor serta perjalanan ke luar negeri.

"Impor di kuartal kedua, terutama untuk memenuhi kebutuhan jelang lebaran, pasti akan meningkat. Sementara ekspor kita masih rendah. Belum lagi ada kebutuhan dollar yang lebih tinggi misalnya untuk masyarakat yang berlibur ke luar negeri saat libur Lebaran," tutur Eko saat ditemui dalam acara konferensi pers Indef, Rabu (8/5).

Faktor musiman lainnya adalah pembayaran dividen dan repatriasi profit oleh perusahaan yang akan menyedot valas dalam jumlah yang besar. Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, faktor ini semestinya sudah lebih bisa dipetakan dan diantisipasi oleh pemerintah sehingga tidak menyebabkan kesulitan likuiditas valas di dalam negeri.

Selanjutnya, Eko juga mengingatkan potensi naiknya harga minyak mentah yang semakin mendekati US$ 70 per barel. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, rata-rata harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada April 2019 mencapai US$68,31 per barel atau menanjak 7,4% dibandingkan US$63,6 per barel pada Maret 2019.

"Ada faktor geopolitik lagi sehingga membuat harga minyak meningkat. Padahal jelang Lebaran kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri pasti naik rata-rata sekitar 15%. Jadi, impor BBM pasti akan naik," kata Eko.

Di sisi lain, Lana juga menyoroti kondisi nilai tukar rupiah yang makin melemah. Ia memproyeksi, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpeluang melemah hingga kisaran Rp 14.400 sepanjang bulan ini.

Dengan begitu, BI diyakini akan kembali gencar melakukan intervensi ke pasar keuangan dengan menggelontorkan cadev.

"Mau tak mau untuk menahan agar pelemahan rupiah tidak semakin dalam terutama di periode tingginya permintaan valas dan perbankan cenderung menjaga likuiditas dollar-nya masing-masing. Cadev pun akan digunakan untuk operasi moneter BI," kata Lana.

Asal tahu saja, posisi cadev Indonesia terus meningkat sejak Januari hingga Maret lalu. Pada Januari dan Februari 2019, cadev Indonesia tercatat masing-masing sebesar US$ 120,1 miliar dan US$ 123,3 miliar. Per akhir Maret 2019, BI melaporkan posisi cadev Indonesia naik menjadi sebesar US$ 124,5 miliar.

Sayangnya, seperti yang dilaporkan BI hari ini, posisi cadev mencatat penurunan menjadi US$ 124,3 miliar pada April lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi