Ekonomi China menekan harga logam industri



KONTAN.CO.ID - Harga komoditas logam industri kompak melemah. Kondisi perekonomian China yang terus memburuk ditengarai menjadi penyebab lesunya pergerakan harga. Penurunan peringkat utang Tiongkok oleh Standar & Poor's (S&P) memperpanjang sentimen negatif.

Mengutip Bloomberg Jumat (22/9) pukul 16.45 WIB, harga beberapa komoditas logam industri untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange menurun. Harga nikel terkoreksi 3,3% ke level US$ 11.005 per metrik ton. 

Harga timah melemah 0,85% ke level US$ 20.625 per metrik ton. Harga tembaga terkoreksi 0,7% ke level US$ 6.480 per metrik ton dan harga aluminium melemah 0,28% ke level US$ 2.171 per metrik ton.


Andri Hardianto, Analis PT Asia Tradepoint Futures mengatakan, pemangkasan rating China oleh S&P dari AA- menjadi A+ memang semakin menunjukkan kalau sekarang ini aktivitas industri manufaktur China tengah melambat. Sikap S&P ini juga seolah semakin menguatkan rilis data ekonomi China yang memburuk. 

Produksi industri bulan Agustus 2017 menurun dari level 6,4% ke level 6%. “Ada kekhawatiran kondisinya masih akan melambat, makanya harga komoditas terkoreksi,” terangnya kepada KONTAN, Jumat (22/9).

Meski biasanya pelemahan nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) mampu menopang penguatan harga logam industri, kali ini hal itu tidak berlaku. Menurut data Bloomberg, Jumat (22/9) pukul 17.15 WIB indeks dollar melemah 0,43% ke level 91,95. Tapi, harga logam industri tetap tak beranjak naik. Kata Andri hanya perbaikan data ekonomi China yang mampu mengembalikan ketangguhan harga logam industri.

Menurutnya koreksi logam harga logam industri ini tak akan berlangsung lama. Membaiknya industri otomotif dan teknologi diyakini mampu menjadi katalis positif yang bisa memperbaiki industri manufaktur China. 

Banyaknya pengembangan kendaraan hybrid dan mobil listrik serta perkembangan industri telepon pintar berpotensi akan meningkatkan permintaan timah, alumnium dan nikel. “Kalau untuk tembaga masih ada peluang menguat tapi masih tergantung pada perkembangan konstruksi China dan belanja infrastruktur AS yang belum jelas,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati