Ekonomi digital



Daya beli kembali jadi perbincangan, setelah Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (6/11) lalu, merilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal ketiga tahun ini. Maklum, meski ekonomi negara kita tumbuh, konsumsi rumahtangga melemah.

Di kuartal III 2017, pertumbuhan konsumsi rumahtangga hanya 4,93%. Angka itu melambat dibanding periode yang sama 2016 yang tumbuh sebesar 5,01% dan triwulan II 2016 lalu yang mekar 4,95%.

Banyak yang mengaitkan daya beli masyarakat yang lemah dengan pergeseran pola belanja ke toko online. Sebab, banyak pelaku usaha menutup sejumlah gerai mereka, termasuk peritel modern.


Tapi, perpindahan pola belanja ini bukan penyebab utama toko-toko offline tutup atau sepi. Meski pertumbuhannya sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, nilai transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) masih sangat kecil ketimbang yang konvensional.

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) mencatat, nilai transaksi e-commerce kurang dari 2% dari total transaksi perdagangan konvensional. Tahun lalu, nilai transaksi e-commerce sebesar US$ 5,6 miliar, dengan jumlah pembeli sebanyak 24,7 juta orang atau hanya 9% dari populasi negara kita.

Cuma, pergeseran pola belanja ke e-commerce kelak bakal jadi ancaman serius perdagangan konvensional. Nilai transaksi e-commerce di 2017 tumbuh 30%–50% dari raihan pada 2014. Dan, pemerintah mencanangkan, nilai transaksi e-commerce tiga tahun lagi atau di 2020 bakal mencapai US$ 130 miliar. Angka ini yang akan mengantarkan Indonesia menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

Fondasi menuju ke sana sudah ada. Sebut saja, jumlah penduduk negara kita yang mencapai 262 juta orang. Sebanyak 132 juta orang di antaranya merupakan pengguna internet dan 92 juta orang adalah pengguna ponsel aktif.

Pemerintah pun enggak main-main dalam mewujudkan Indonesia jadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Mereka mempercepat implementasi Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik. Beleid ini populer juga dengan sebutan Roadmap E-commerce.

Jadi, tidak ada yang bisa membendung pergeseran pola belanja ke toko online. Apalagi, banyak masyarakat yang menginginkannya. Selain praktis, tidak buang waktu, harga dan tarifnya bersaing. Malahan, sering kali jauh lebih murah.            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi