Ekonomi digital, sang pendorong



Perkembangan teknologi internet serta tersedianya telepon genggam dengan harga semakin terjangkau merupakan disrupsi bagi jasa bisnis dan keuangan konvensional. Beberapa tahun lalu, bila membutuhkan barang atau jasa, kita perlu pergi ke toko penyedia barang dan jasa. Ada waktu dan tambahan sumber daya untuk mendapatkan barang dan jasa tersebut. Saat ini cukup menyentuh telepon genggam dengan ujung jari, barang dan jasa yang dibutuhkan sampai di tangan konsumen dalam waktu singkat.

Ekonomi digital dapat digolongkan menjadi e-commerce, financial technology dan on demand service. E-commerce adalah transaksi jual beli elektronik dengan media internet. E-commerce menghubungkan penjual dan pembeli, sehingga membuka peluang lebih luas bagi pembeli mendapat barang dan jasa serta memperluas pasar bagi penjual.

Dengan e-commerce, penjual tidak perlu menyediakan modal tambahan membuka toko secara fisik dan tidak perlu mengeluarkan modal besar berpromosi. Semua dapat dilakukan lebih mudah dan murah melalui e-commerce. Beberapa pemain asli Indonesia di bisnis e-commerce adalah Tokopedia dan Bukalapak.


Selain plaftorm B2B (business to business), B2C (business to consumer) dan C2C (consumer to consumer), proses jual beli antarkonsumen dapat melalui akun media sosial seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp. E-commerce melalui media sosial lebih sulit dimonitor. Kemungkinan, potensi e-commerce dalam mendukung ekonomi tak seluruhnya tercakup.

Perkembangan e-commerce memacu sektor pendukung lain, khususnya jasa logistik. Membawa barang dari produsen ke konsumen membutuhkan jasa pengiriman yang dapat dipercaya, murah, dan cepat. Ini tercermin dari meningkatnya transaksi on-demand services seperti transportasi online dan jasa pengiriman. Maka, terbuka lapangan pekerjaan lebih luas bagi masyarakat. Masyarakat mempunyai pilihan bekerja di sektor formal maupun nonformal disesuaikan kebutuhan dan ketersediaan waktu mereka.

Sebagian besar transaksi e-commerce secara non-tunai, baik melalui bank maupun jasa pembayaran teknologi finansial (fintech). E-commerce meningkatkan pendapatan perbankan melalui jasa transfer dan e-banking. Semakin berkembangnya jasa pembayaran via fintech yang lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah, berpotensi menurunkan pendapatan bank.

Fintech juga menyediakan jasa keuangan bagi penduduk yang belum terjangkau sistem keuangan formal. Salah satunya peer to peer lending (P2PL), jasa pemberian pinjaman antarindividu. P2PL  mempertemukan pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan yang membutuhkan dana. P2PL hanya bmempertemukan kedua pihak tanpa menanggung risiko. Oleh sebab itu, P2PL tidak memperoleh pendapatan selisih tingkat bunga, tapi hanya mendapatkan fee dari jasa mempertemukan keduh pihak.

P2PL menyediakan jasa keuangan yang tidak dapat diberikan perbankan. Salah satunya pemberian pinjaman ke pengusaha karena belum beroperasi selama dua tahun atau tidak mempunyai jaminan. Dengan sistem know your customer (KYC) lebih sederhana, calon nasabah  lebih mudah memperoleh pinjaman. Hal ini sangat menguntungkan pengusaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Hingga Desember 2017, P2PL menyalurkan Rp 2,2 triliun ke UMKM. Dibandingkan Desember 2016, melesat lebih dari 8 kali lipat. Tingginya kenaikan ini menunjukkan tingginya kebutuhan dana penduduk yang belum tersentuh perbankan di Indonesia. Saat ini, P2PL dan perbankan masih menyediakan jasa segmen berbeda, tapi tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat mereka menggarap segmen pasar yang sama. Fintech dapat dianggap pesaing perbankan. Namun lebih menguntungkan kedua pihak bekerja sama dibandingkan bersaing.

Kolaborasinya  menjadikan fintech salah satu channel distribusi perbankan. Perbankan dapat merekomendasikan nasabah yang belum dapat dilayani (karena usia bisnis  belum mencukupi atau tidak mempunyai jaminan) ke P2PL. Bank memperoleh referral fee sementara P2PL memperoleh nasabah baru.  Ini menurunkan biaya akuisisi nasabah perbankan.

Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan dan peraturan secara hati-hati. Ekonomi digital sebagai bagian industrial 4.0 adalah hal baru. Peraturan dan kebijakan jangan menghambat inovasi ekonomi digital. Tapi tetap memperhatikan keuntungan serta perlindungan konsumen juga  penyedia barang dan jasa.        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi