Ekonomi Global Diprediksi Melambat dan Dampaknya pada Indonesia



KONTAN.CO.ID - TAHUN 2024 merupakan tahun yang penuh tantangan. Sejumlah konflik geopolitik warisan tahun 2023 masih berlanjut tahun ini. Hal ini dikhawatirkan berimbas lebih dalam pada ekonomi.

Kebijakan moneter ketat yang diambil negara maju guna mengelola inflasi juga semakin memberatkan laju ekonomi global.

Itulah sebabnya mengapa Bank Dunia (World Bank), dalam laporan Global Economic Prospect edisi Januari 2024, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan suram.


Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mengingatkan bahwa negara miskin, negara berkembang hingga negara maju tidak luput dari potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Baca Juga: Ekonomi Jerman Mengalami Kontraksi 0,3% pada Tahun 2023

Berdasarkan hitungan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan melambat, tumbuh 2,4% secara tahunan atau year on year (yoy). Proyeksi pertumbuhan ini lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 yang sebesar 2,6%.

Bahkan, World Bank mencatat, potensi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 hampir tiga perempat persen poin di bawah rata-rata pertumbuhan pada tahun 2010-an.

Pada tahun ini, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang hanya tumbuh sebesar 3,9% secara tahunan. Proyeksi pertumbuhan tersebut, turun lebih dari satu persen poin dari rata-rata pertumbuhan pada dekade sebelumnya. 

Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah sebesar 5,5% secara tahunan. Pertumbuhan ini juga lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan sebelumnya.

Bahkan, Bank Dunia mengungkapkan kekhawatirannya pada penghujung tahun ini, ada potensi satu dari empat negara berkembang atau sekitar 40% negara berpendapatan rendah bisa lebih miskin dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Baca Juga: Menperin Janji Genjot Kinerja Industri Manufaktur pada Tahun 2024

Sedangkan untuk negara maju, Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonominya di level 1,2% secara tahunan, proyeksi pertumbuhan ekonomi tersebut lebih rendah dari proyeksi tahun lalu yang sebesar 1,5%.

Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup World Bank, Indermit Gill, menuturkan bahwa tanpa inovasi besar-besaran, maka dekade ini akan menjadi peluang yang sia-sia. “Tanpa adanya koreksi besar-besaran, tahun 2020-an akan menjadi dekade dengan peluang yang terbuang sia-sia,” terang Gill seperti dikutip dari pemberitaan Kontan.co.id, Rabu (10/1/2024).

Menurut Bank Dunia, ketegangan geopolitik, baik itu di Eropa antara Rusia dan Ukraina, maupun di Timur Tengah, antara Israel dan Palestina yang mulai menyeret sejumlah pihak dan negara terlibat perang tersebut telah menekan ekonomi global.

Baca Juga: Masalah Gagal Bayar Menerpa Industri Fintech Lending, Ini Kata AFPI

Dampak perang tersebut menghambat laju perdagangan global pada 2024 ini. Perdagangan global berpotensi melambat dan mencapai separuh dari rata-rata pertumbuhan perdagangan global pada dekade pra prandemi.

Terjebat Utang dan Suku Bunga Tinggi

Selain tekanan geopolitik dan kebijakan fiskal ketat negara maju, melambatnya ekonomi global juga terdampak utang negara-negara berkembang dan negara miskin yang kian membengkak. Menurut Bank Dunia, pinjaman negara-negara berkembang terus membengkak untuk membiayai belanja negara di tengah penurunan pedapatan.

Karena itu, negara yang paling berisiko terdampak perlambatan ekonomi global salah satunya negara dengan peringkat utang yang buruk. Apalagi di tengah membengkaknya jumlah utang, suku bunga global juga berada di peringkat level tertinggi dalam waktu yang lama.

International Monetary Fund atau Dana Moneter Internasional (IMF) sebelumnya memperkirakan tingkat suku bunga acuan global akan tetap tinggi pada 2024, bahkan kemungkinan bertahan hingga 2025.

Baca Juga: Gunung Raja Paksi (GGRP) Kembali Ekspor Baja Struktur ke Kanada

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam Plenary Session Asean Indo-Pacific Forum (AIPF) mengatakan, kondisi ini memberikan konsekuensi bagi negara-negara berkembang termasuk ASEAN seturut kenaikan biaya atau cosf of money dan tekanan terhadap mata uang.

Pasalnya, negara-negara maju terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa masih mempertahankan suku bunga tinggi untuk memerangi inflasi yang sulit terkendali.

Seperti diketahui, suku bunga The Fed saat ini bertahan di level tinggi 5,25% - 5,5%. Sedangkan Bank Sentral Eropa (ECB) mempertahankan suku bunga pada rekor tertinggi direntang 4,5% - 4,75% pada Desember 2023 lalu.

Baca Juga: Pendapatan Daerah DKI Jakarta Capai Rp 71 Triliun di Sepanjang 2023

Tentu saja, di era suku bunga tinggi ini, negara-negara berkembang dan negara miskin yang jumlah utangnya membengkak akan semakin tercekik. Karena itu, kekhawatiran Bank Dunia bahwa ekonomi global akan melambat pada 2024 semakin nyata. Lalu bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia?

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di tengah pesimistis akan proyeksi pertumbuhan ekonomi global, pemerintah Indonesia justru menaruh optimistis. Pemerintah dan DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sepakat mematok pertumbuhan ekonomi pada 2024 di level 5,2%.

Target pertumbuhan ekonomi Indonesia ini juga sejalan dengan prediksi lembaga asing. Dalam 2024 Global Economics Outlook: The Last Mile Morgan Stanley, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia konsisten di kisaran 5% hingga 2025. Dalam proyeksi tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diprediksi di level 5%, pada 2024 di level 5,1% dan 2025 di level 5,2%.

Sementara itu, Bank Dunia, dalam laporan bertajuk East Asia and The Pacific Economic Upadete edisi Oktober 2023, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 berada di level 4,9%. 

Alasan World Bank memproyeksikan pertumbuhan di bawah 5% karena adanya perlemahan harga komoditas global yang akan menekan ekspor dan pendapatan Indonesia.

Baca Juga: Pendapatan Daerah DKI Jakarta Capai Rp 71 Triliun di Sepanjang 2023

Selain itu, Bank Dunia juga mengkhawatirkan perlambatan ekonomi China yang berdampak pada ekonomi Indonesia. Karena China merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia. Kemudian pada 2024 ini, Indonesia memasuki tahun politik yang berpotensi menghambat aliran investasi masuk karena investor masih wait and see.

Pada pekan pertama Januari 2024 ini, Bank Indonesia (BI) telah merilis hasil survei Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang menunjukkan tanda-tandan pelemahan ekonomi Indonesia. Dalam laporan tersebut, IEK melorot pada Desember 2023 ke level 133,9 dari bulan sebelumnya di level 134,2.

"Ini berarti masyarakat kurang yakin terhadap kondisi ekonomi enam bulan yang akan datang, atau hingga pertengahan tahun 2024," seperti dikutip dari pemberitaan Kontan.co.id, Rabu (10/1/2024).

Berdasarkan APBN KiTa edisi Desember 2023, posisi utang pemerintah sebesar Rp 8.041,01 triliun sampai akhir November 2023. Nilai tersebut meningkat sekitar Rp 90,49 triliun dari bulan sebelumnya.

Meskipun demikian, Kemenkeu menyebutkan, rasio utang pemerintah terhadap PDB masih lebih baik dibandingkan posisi akhir tahun 2022, yakni sebesar 38,65%.

Baca Juga: Ekonomi China Diprediksi Melambat Tahun Ini dan Kian Melemah Tahun Depan

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, laju pertumbuhan utang ini tidak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.Ia menilai utang yang meningkat tajam tidak berdam pak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertahan di level sekitar 5% saja.

“Utang makin tidak berkorelasi terhadap kenaikan pertumbuhan PDB. Laju penambahan utangnya kan tinggi sekali, sementara pertumbuhan ekonomi hanya 5% jadi ini merupakan indikator overhang utang,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (20/12).  

Bhima mengatakan hal ini terjadi karena utang tidak semuanya digunakan untuk yang sifatnya produktif. Ia mengingatkan makin tingginya beban utang akan menyebabkan penyempitan ruang fiskal.

Melihat kondisi ini, perlu langkah ekstra untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi global. Bisa mencari pasar-pasar ekspor baru dan mencari sumber-sumber pendapatan baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli