KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek harga komoditas energi masih dalam tekanan. Lesunya ekonomi China menjadi penyebab. Pada Kamis (31/10) pukul 17.13 WIB, harga minyak WTI naik 0,41% ke US$ 68,89 per barel. Dalam sepekan terakhir, harga minyak WTI tercatat turun 1,83%. Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, kenaikan harga minyak mentah WTI sebagai
rebound teknikal setelah anjlok 6% pada Senin (28/10), yang merupakan penurunan harian terbesar dalam dua tahun.
Anjloknya harga minyak WTI seiring meredanya ketegangan di Timur Tengah. Sehingga, fokus pasar telah beralih kembali ke fundamental yang lemah, khususnya pertumbuhan permintaan China yang lamban dan peningkatan produksi OPEC yang diantisipasi. "Pedagang juga akan mencermati data utama Amerika Serikat (AS) tentang pertumbuhan dan ketenagakerjaan untuk wawasan tentang kebijakan moneter, bersama dengan implikasi dari pemilihan umum AS yang akan datang," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (29/10).
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Melanjutkan Kenaikannya Kamis (31/10) Pagi Komoditas energi lain, batubara juga terpantau melemah. Setelah mencapai level tertingginya di US$ 153 per ton pada 7 Oktober, kini harga batubara telah kembali ke US$ 145 per ton per Kamis (31/10) pukul 17.13 WIB. Secara harian, harga batubara terkoreksi turun 0,17%. Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, sentimen harga batubara cenderung netral. Dus, pergerakan harganya akan sulit untuk melewati harga idealnya di US$ 150 per ton, hanya karena faktor keseimbangan harga dari pasokan dan permintaan. Lukman menyebutkan, tidak ada fundamental besar saat ini akan mempengaruhi harga. La Nina yang dikhawatirkan melanda Australia tahun ini diperkirakan semakin kecil kemungkinannya. "Harga batubara akan berkisar di level sekarang, naik dan turun merespons data-data produksi dan permintaan," terangnya.
Baca Juga: Realisasi Investasi di Sektor Minerba Masih Mini Sutopo melanjutkan, setiap rilis data dari China atau potensi diskusi gencatan senjata di Timur Tengah akan mengakibatkan perubahan harga komoditas energi. Namun, situasi China dinilai memiliki dampak yang lebih lama karena perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu itu berarti perlambatan bagi seluruh dunia. Apalagi, setelah IMF merevisi turun perkiraan pertumbuhan global menjadi 3,2%. "Sedikit penurunan tetapi tetap saja penurunan, menunjukkan ruang lingkup risiko penurunan di pasar global," kata Sutopo. IMF juga memperingatkan bahwa risiko tersebut dapat berasal dari perang lebih lanjut atau proteksionisme perdagangan, sesuatu yang telah menjadi topik hangat dalam jalur kampanye pemilihan AS. IMF turut menunjukkan pertumbuhan akan tetap biasa-biasa saja dalam jangka menengah dengan banyak ketidakpastian. IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2025 menjadi 4,8% dari sebelumnya 5%, sejalan dengan banyak lembaga yang telah melakukan hal serupa dalam beberapa minggu terakhir.
Baca Juga: Kementerian ESDM Tetapkan Harga Batubara Acuan dan Harga Mineral Acuan Oktober 2024 Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono berpandangan, prospek harga minyak memang lesu. OPEC+ berencana untuk melepaskan lebih banyak minyak ke pasar mulai Desember. Sementara itu, permintaan masih lemah. Pada saat yang sama, Energy Information Administration (EIA) atau Badan Informasi Energi Amerika Serikat (AS) memperkirakan produksi minyak mentah akan naik menjadi 13,2 juta barel per hari, dan akan makin bertambah di 2025. Sementara untuk batubara, prospeknya dinilai lebih baik. Menurut Wahyu, meski ekonomi China masih lesu tetapi permintaan akan batubara naik untuk menghindari kekurangan selama musim puncak permintaan musim panas dengan menimbun batubara dan meningkatkan produksi.
Baca Juga: Harga Minyak Menuju Penguatan Mingguan, Ketegangan di Timur Tengah Buat Pasar Gelisah Tetapi ada potensi pelemahan di 2025 karena pembangkit listrik terbarukan memenuhi permintaan listrik yang meningkat. "Risiko utama untuk pandangan ini termasuk pertumbuhan yang lebih kuat dari yang diharapkan dalam output daya China dan kekurangan tenaga air," kata Wahyu. Pada akhir tahun 2024, Wahyu memproyeksikan harga batubara di US$ 150 per ton. Sementara minyak di rentang US$ 60 per barel-US$ 80 per barel dengan nilai tengah US$ 70 per barel. Adapun Sutopo memproyeksikan target harga minyak di US$ 70 per barel dan batubara di US$ 146,59 per ton. Lalu Lukman memprediksi batubara di US$ 140 per ton-US$ 150 per ton dan harga minyak di US$ 60 per barel dengan asumsi tidak ada eskalasi di Timur Tengah yang dapat menyebabkan gangguan pasokan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati