Ekonomi Indonesia dan hedonomika



Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang menginjak lima tahun saat ini, ada satu fakta ekonomi yang tak bisa dipungkiri, yakni pertumbuhan ekonomi tak pernah bisa beringsut dari kisaran 5%. Hal ini sejatinya memprihatinkan jika kita memasukkan fakta bahwa pertumbuhan ini banyak berasal dari konsumsi. Selain itu, kenyataan betapa minimnya sumbangan dari sektor riil, sektor produktif, dan padat karya.

Lihat saja, beberapa sektor industri padat karya seperti sektor makanan minuman, tekstil, elektronik, dan baja menurun. Artinya, terjadi deindustrialisasi yang berkombinasi dengan gaya hidup konsumtif dan minimnya produktivitas.

Secara ringkas, Indonesia kini memasuki apa yang penulis sebut sebagai ekonomi berbasis kenikmatan alias hedonomics atau hedonomika. Inilah bentuk ekonomi yang bergerak lewat mesin kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan fana, sebagaimana istilah hedon yang diasalkan dari kata Yunani, eudomonia alias kenikmatan.


Di satu sisi, mesin kenikmatan ini punya pelumas bernama daya beli atau konsumsi masyarakat yang nanti akan berujung pada pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain mesin ini berpotensi melambat atau bahkan macet jika pelumas yang dipakai ini berkualitas rendah. Maksud dari berkualitas rendah ini adalah apabila konsumsi ini datang dari utang ketimbang dari hasil keringat kerja yang kita sebut sebagai produktivitas.

Pasalnya, bila utang ini nantinya tidak terlunasi secara berjamaah oleh debitur atau peminjam, efek domino ekonomi akan terjadi dan meluluhlantakkan berbagai institusi finansial. Ini bisa kita temui indikasinya dalam krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) dan juga dunia pada 2007-2008.

Masalahnya, hedonomika memang sering berbanding terbalik dengan produktivitas. Logika yang tergambar sederhana, yaitu kenikmatan secara filosofis membuai dan membuat terlena manusia untuk terus berkubang dalam pesta pora tanpa memikirkan hari esok.

Merujuk filsuf pascamodern Jean-Francois Lyotard (Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Jalasutra, 2004, hlm. 115), hedonomika ini adalah ekonomi bujuk rayu, ekonomi libido atau ekonomi ekstasi yang ingin memanfaatkan segala potensi dan kesenangan serta gairah dalam diri.

Semua dilakukan tanpa takut akan tabu dan adat, seraya menggunakan dan mempertontonkan sebebas-bebasnya keindahan penampilan, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran modal.

Alhasil, moto dan slogan utama hedonomika atau ekonomi libido adalah hidup hanyalah untuk hari ini. Horison waktu manusia menyempit, sehingga filosofi hidup untuk hari ini tersebut mengejawantah dalam prinsip tak ada guna memikirkan dan bekerja demi esok hari. Tidak ada ruang bagi perencanaan matang, padahal Peter Drucker pernah mengatakan those who fail to plan are those who plan to fail, yaitu mereka yang gagal melakukan perencanaan sejatinya secara paradoks sedang merancang rencana untuk gagal.

Ketiadaan perencanaan lantas bermuara pada mentalitas instan atau menerabas bangsa ini, sesuatu yang kerap dikhawatirkan oleh begawan antropologi Koentjaraningrat (Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1995).

Mentalitas menerabas menjadi antitesis dari kerja keras dan produktivitas, serta melahirkan hasil sebagai antitesis dari proses. Akibatnya, muncul sikap menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Secara konkret, sikap ini mewujud dalam bentuk aksi-aksi kriminal seperti korupsi, gratifikasi, penipuan, perampokan, dan lain sebagainya.

Didukung oleh teknologi

Kondisi ini termasuk juga di dalamnya adalah fenomena kontemporer seperti mudahnya masyarakat tergiur dan terjerat oleh pemberian pinjaman ilegal berbunga tinggi berbasis teknologi finansial (tekfin). Peer-to-peer (P2P) financial technology lending ini kerap berakhir pada nasabah yang bunuh diri ketika tak mampu membayar pinjaman yang mencekik leher tersebut.

Untuk itu, produktivitas tenaga kerja di sektor riil menjadi kunci untuk keluar dari jeratan ilusif hedonomika. Hedonomika yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi tinggi tapi semu karena minim kualitas dan pemerataan bukanlah menjadi pilihan.

Penguatan struktur ekonomi secara integratif yang melibatkan sektor primer dan sekunder menjadi sebuah keniscayaan. Sektor primer adalah gabungan dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, serta pertambangan. Sayangnya disektor ini, kita minim pengolahan sehingga tidak ada nilai tambah dan mengandalkan ekspor bahan mentah.

Sementara itu, sektor sekunder adalah gabungan dari industri pengolahan, listrik, gas, air dan konstruksi yang efek penggandanya (multiplier effect) lebih besar bagi perekonomian. Celakanya, di sektor ini terjadi deindustrialisasi alias penurunan produktivitas seperti yang diharapkan.

Keniscayaan pergeseran fokus kepada penguatan struktur ekonomi ini akhirnya mengerucut pada tiga solusi yang ditempuh rezim pemerintahan saat ini maupun yang akan datang. Pertama, menyediakan sarana dan prasarana prima bagi pengolahan sektor-sektor primer sehingga produk (output) yang akan diekspor memiliki nilai tambah.

Kedua, memberikan beraneka insentif seperti kemudahan berusaha, kepastian hukum, insentif pajak, dan lain sebagainya guna menstimulasi aktivitas sektor sekunder. Ketiga, semua pemangku kepentingan (stakeholders) bangsa ini, mulai dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat, sekolah/universitas, keluarga, dan lain sebagainya.

Semua pihak harus menggalakkan gerakan literasi keuangan (financial literacy) agar masyarakat tidak gampang tergiur pinjaman mudah tapi berbunga tinggi dan perilaku foya-foya yang bisa berujung petaka di kemudian hari. Selama ini literasi keuangan memang belum cukup menggugah kesadaran masyarakat tentang produk-produk keuangan, selain simpanan, deposito, atau kredit usaha.

Jika semua itu bisa dilakukan, niscaya kita tidak hanya menjadi bangsa konsumtif dengan mengandalkan daya beli semata sehingga terjebak dalam irama hedonomika, melainkan mampu bertransformasi menjadi bangsa produktif lewat sebuah perjuangan dan kerja keras yang mampu mengubah ekonomi.

Alhasil, ekonomi kenikmatan tersebut otomatis akan berubah menjadi ekonomi berkualitas andalan. Semoga!♦

Satrio Wahono Sosiolog dan Magister Filsafat Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi