Ekonomi Indonesia dan perang dagang



Janji kebijakan proteksionisme Donald Trump rupanya telah direalisasikan. Pada Juni 2018, Trump menetapkan tarif tambahan sebesar 10% untuk aluminium dan 25% bagi baja.

Trump berkilah, harga aluminium dan baja impor yang sangat murah telah memukul industri lokal dan memicu gelombang pengangguran. Kebijakan itu langsung memicu kegeraman sejumlah negara, seperti China, Meksiko, Kanada, Jepang dan Uni Eropa.

Seolah tak bergeming, Trump juga berencana mengenakan tambahan tarif senilai US$ 350 miliar bagi produk otomotif dan suku cadang. Kondisi ini membuat Uni Eropa marah dan akan melakukan aksi pembalasan serupa terhadap produk AS.


Kondisi inilah yang membuat Harley Davidson sebagai produsen motor gede dan ikon kekuatan manufaktur AS ikut kena getahnya. Harga Harley Davidson menjadi tidak kompetitif alias mahal.

Harley mengancam akan memindahkan basis produksi ke luar negeri, jika kebijakan itu tidak direvisi. Sebaliknyta Trump mengancam bakal menaikkan tarif pajak tinggi pada Harley, jika berani memindahkan basis produksinya.

Tidak berhenti sampai di situ. Trump kembali berulah. Pada 6 Juli 2018, ia kembali mengenakan tarif tambahan sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 34 miliar. Hal ini membuat pemerintah China berang dan menyatakan akan melakukan pembalasan (retaliation) terhadap produk AS dengan nilai yang sama.

Aksi pembalasan China ini membuat Trump berang. Ia pun berencana akan memperluas pengenaan tarif terhadap produk-produk China lainnya hingga nilainya mencapai $ 400 miliar. Pemerintah China tidak takut dan akan terus melawan.

Kebijakan Trump menekan China tidak dapat dilepaskan dari defisit perdagangan dengan China yang terus melebar. Tahun 2017 nilai defisit dagang dengan China mencapai US$ 375 miliar.

Dengan mengenakan tarif tinggi, maka diharapkan akan menekan banjir produk China yang murah dan kembali dapat menggairahkan daya saing industri lokal yang pada akhirnya dapat mendorong penciptaan lapangan kerja, khususnya di sektor manufaktur. Penciptaan lapangan kerja secara besar-besaran menjadi salah satu janji kampanye Trump.

Meski begitu, kebijakan Trump ini berpotensi memicu risiko baru yang bisa memengaruhi arah pemulihan perekonomian global yang saat ini sedang berlangsung.

Salah satu risiko yang patut diwaspadai ialah perang mata uang (currency war). Pemerintah China berpotensi mengambil kebijakan devaluasi nilai tukar yuan untuk mengompensasi tambahan tarif ini dan mendorong daya saing produk ekspornya.

Jika ini terjadi, maka negara lain, seperti Jepang bisa mengikuti, karena tidak ingin juga kehilangan daya saing ekspornya. Alhasil, perang dagang memicu perang mata uang (currency war), di mana kondisi seperti tidak diharapkan oleh siapa pun.

Indikasi China melakukan devaluasi yuan cukup nyata. Sepanjang Juni 2018, nilai tukar yuan telah terdepresiasi sebesar 3,2% ke level 6,28 per dollar AS. Ini merupakan pelemahan bulanan terbesar sepanjang tahun ini.

Bahkan, sejumlah analis meramal bahwa tren pelemahan Yuan ini masih berpotensi berlanjut, jika tensi perang dagang meningkat. Sebagai informasi, nilai tukar Yuan sampai pertengahan Juli 2018 masih terus melemah hingga ke level 6,69 per dollar AS.

Pelemahan yuan ini berpotensi menekan kinerja sektor keuangan global. Berkaca pada tahun 2015, ketika Bank Sentral China (PoBC) melakukan devaluasi yuan telah membuat pasar keuangan global kala itu terguncang hebat.

Hampir semua pasar saham berguguran. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah di berbagai negara melonjak, dan nilai tukar global, khususnya di emerging market terdepresiasi. Indonesia juga tidak luput dari guncangan tersebut.

Peluang Indonesia

Apakah kondisi tahun 2015 tersebut bisa terulang? Itu sangat ditentukan oleh tindakan Trump sendiri. Itulah sebabnya, ekskalasi perang dagang ini telah membuat pasar keuangan global bergerak bagai bandul. Investor terlihat sangat hati-hati menyikapi arah dari perang dagang dua raksasa ekonomi dunia ini.

Itulah sebabnya dalam World Economic Outlook 2018 terbaru yang dirilis oleh Dana Moneter International (IMF) pada (16/7) menyimpulkan bahwa perang dagang ini telah memicu meningkatnya risiko global. Khususnya dalam jangka pendek. Meski perekonomian global tetap solid.

Perang dagang ini diperkirakan tidak akan memberikan dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia, meski dua negara ini merupakan mitra dagang terbesar Indonesia.

Sebagai catatan, sepanjang Januari-Juni 2018, Indonesia mengalami surplus dagang dengan Amerika Serikat sebesar US$ 4,12 miliar dan defisit dengan China sebesar US$ 8,28 miliar.

Oleh sebab itu, Indonesia diharapkan dapat mengambil peluang dari pusaran perang dagang ini. Pertama, ceruk pasar ekspor China yang hilang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan nilai dan volume perdagangan dengan AS.

Itulah sebabnya, Indonesia harus dapat menyakinkan pemerintah AS dengan lobi dan diplomasi yang baik. Diharapkan pemerintah AS juga melunak terkait rencananya untuk mencabut pemberian fasilitas generalized system of preferences (GSP).

Kedua, ini adalah momentum untuk memperkuat sektor manufaktur dan meningkatkan industri bahan baku dan penolong. Momentum tersebut diharapkan bisa meningkatkan daya saing produk ekspor dan sekaligus dapat mengerem laju produk impor.Indonesia harus berani keluar dari ketergantungan terhadap produk-produk komoditas mentah (raw material) yang sifatnya tidak berkelanjutan. Apalagi ketika kinerja perekonomian global, khususnya China mengalami tekanan. Ketiga, pemerintah harus lebih intensif dan gencar untuk membuka pasar ekspor baru yang potensinya sangat besar, tetapi masih kurang dilirik. Ambil contoh seperti Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika, dan Arab.

Keempat, sektor pariwisata juga harus terus digenjot sebagai sektor komplementer dari sektor ekspor. Pemerintah bahkan telah menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Sayangnya, Indonesia masih kalah jauh dari Malaysia dan Thailand dalam mendulang devisa di sektor ini. Banyak masalah yang harus diperbaiki di bidang tersebut. Seperti buruknya infrastruktur, perizinan yang berbelit, dan rendahnya keahlian dan ketrampilan sumber daya manusia (SDM) di bidang tersebut.•

Desmon Silitonga Analis Pasar Modal dan Alumnus Pascasarjana FEUI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi