KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perekonomian dunia mulai bangkit sejak akhir 2021 sejalan dengan pandemi Covid-19 yang beranjak pulih dan relatif terkendali. Namun, saat berangsur bangkit, perekonomian global harus menghadapi masalah lonjakan inflansi, pengetatan kebijakan moneter dan risiko geopolitik global yang makin panas akibat peraang Rusia-Ukraina. Ini yang menyebabkan International Monetary Fund (IMF) pada Juli 2022 merevisi pertumbuhan ekonomi global lebih rendah ke level 3,2% untuk 2022 dan 2,9% untuk tahun 2023, dari proyeksi semula 3,6% di 2022 dan 3,6% di 2023.
Ditambah lagi, berbagai negara telah melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi, seperti Malaysia, AS, dan Kanada, juga beberapa negara lainnya. Sebagai informasi, peningkatan tingkat inflasi pada beberapa negara maju atau advanced economy seperti AS dan Inggris bahkan mencapai 9,06% dan 8,20% pada Juni 2022.
Baca Juga: Kekurangan Pasokan Tembaga Mengancam Ekonomi Global Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan dan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK Dian Ediana Rae mengungkapkan, di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat, hingga kuartal II 2022 perekonomian domestik masih berangsur membaik. "Hal ini tentunya diikuti dengan stabilitas sektor perbankan yang semakin solid," kata Dian dalam Focus Group Discussion bersama Redaktur Media Massa di Bandung, Sabtu (24/9). Kinerja perbankan pada Juli 2022 menunjukkan tren meningkat dengan total kredit perbankan tumbuh signifikan mencapai 10,71% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 8,59% yoy. Dian menambahkan, dari aspek risiko, rasio Non Performing Loan (NPL) perbankan terus bergerak turun di posisi Juli 2022 mencapai 2,90% didukung oleh permodalan yang cukup kuat dengan rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) meningkat mencapai 24,92%.
"Namun, perbankan tetap perlu memperhatikan risiko kredit selama proses normalisasi kebijakan, terlihat dari nilai Loan at Risk (LaR) yang masih cukup tinggi sebesar 16,80%," tutur Dian. OJK, kata Dian, akan terus mencermati tekanan perekonomian global yang meningkat, sebagai akibat berlanjutnya perang di Ukraina, tekanan inflasi global, serta respons pengetatan kebijakan moneter global yang lebih agresif.
Baca Juga: Bunga The Fed Naik, Rupiah Melempem Tembus Rp 15.000 Pekan Ini Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat