Ekonomi Indonesia memang rapuh



JAKARTA. Ekonomi Indonesia sesungguhnya amat rapuh akibat terlalu banyak menelan dana asing bersifat jangka pendek (hot money) yang masuk pasar finansial. Jika diibaratkan, timbunan dana asing di pasar modal itu serupa lemak jahat yang bisa membuat jantung perekonomian Indonesia berhenti mendadak. Saat hot money keluar, guncanglah ekonomi kita.

Satu  tahun terakhir, sekitar US$  50 miliar hot money masuk ke pasar finansial lokal. Ini terjadi sejak Amerika Serikat menggelontorkan dana stimulus (quantitave easing) hingga sekitar US$ 2 triliun.

Rezim devisa bebas yang dianut Indonesia membuat dana asing begitu mudah keluar masuk investasi Indonesia. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat aset asing di Indonesia pada akhir Juli lalu mencapai Rp 1.640 triliun atau setara US$ 164 miliar. Dana asing di Surat Berharga Negara (SBN) per 22 Agustus 2013 mencapai Rp 287,5 triliun atau setara dengan US$ 28 miliar.


Tentu kita susah membayangkan apa jadinya nilai rupiah jika duit asing yang mencapai US$ 192 miliar ini tiba-tiba berbondong-bondong keluar. Itulah yang terjadi saat ini. Berdasarkan pemantauan Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistyaningish, tiga bulan terakhir, dana asing yang keluar US$ 23,5 miliar.

Jumlah itu terdiri dari dana di pasar saham sebesar US$ 3,5 miliar dan US$ 20 miliar dari pasar obligasi. "Walaupun baru sebagian kecil, ternyata membawa sentimen kepanikan," katanya, Selasa (27/8).

Sumber KONTAN yang dekat dengan pengambil kebijakan menyebut, jika duit asing yang keluar kurang dari US$ 10 miliar, masih kategori krisis ringan. Jika sudah di atas US$ 10 miliar–US$ 25 miliar kategori menengah, dan jika melampaui US$ 25 miliar, Indonesia masuk kategori krisis berat. "Jika krisis, rupiah bisa tembus di atas 17.000," kata sumber itu.

Nah, potensi kepanikan ini masih ada. Pada 17 September 2013, bank sentral Amerika Serikat bakal mengumumkan kepastian rencana tapering off atau penghentian stimulus. The Fed akan menarik duit ke pasar secara bertahap sebesar US$ 80 miliar per penarikan.

Tak pelak, rencana ini yang memicu migrasi besar-besaran dollar AS dari pasar keuangan global, termasuk dari Indonesia. Dollar AS pulang kampung tersedot spekulasi rencana Fed.

Celakanya, saat bersamaan, suplai dollar AS ke Indonesia terus mengering. Per kuartal II-2013, neraca transaksi berjalan masih minus US$ 9,8 miliar, sementara cadangan devisa kian menipis dan tersisa US$ 92,67 miliar.

Jalan keluar

Singkat kata, dollar banyak keluar, sementara pemasukan minim. Tak heran rupiah terus melemah dan kini berada di kisaran Rp 11.300 per dollar AS.  Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas ke posisi  3.967,84.

Tapi, masih ada jalan keluar meredam "kepanikan" ini. Paket ekonomi pemerintah yang dikeluarkan pemerintah  23 Agustus 2013, memang bagus. Tapi, itu hanya tak efektif untuk jangka panjang.

Dalam jangka pendek, minimal empat hal yang perlu dilakukan. Pertama, Indonesia harus segera memperbarui komitmen pinjaman siaga lewat bilateral swap agreement (BSA) dengan negara maju.

Komitmen ini bisa didapat misalnya dari China dan Jepang. Upaya ini bisa meredakan kepanikan pasar atas memburuknya neraca transaksi Indonesia.

Agar bisa menenangkan  pasar, jumlah BSA ini sekitar US$ 20 miliar. Ekonom Tony Presetyantono sepakat BSA lebih solutif ketimbang cara lain untuk mengerem outflow. "Instrumen ini bisa digunakan pada kondisi ekstrem," kata Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri.

Kedua, menahan inflasi. Dalam jangka pendek, salah satu upayanya adalah melancar impor bahan pangan, sembari berihtiar atas program swasembada pangan.

Maklum, pangan impor makin krusial bagi Indonesia. Jika impor terhambat, harga pangan makin tak terkendali. Tak lupa pula, kelancaran distribusi juga harus dijaga.  

Ketiga, menghilangkan hambatan ekspor. Ekspor lancar,  aliran dollar AS ke Indonesia makin besar, sehingga menguatkan rupiah.

Keempat, Bank Indonesia   memperbesar pembelian kembali (buyback) obligasi pemerintah. Jangan cuma Rp 30 triliun. Upaya ini bertujuan menstabilkan pasar obligasi.

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang P.S. Brodjonegoro bilang, BI yang berhak memperbaharui BSA tersebut. "Pemerintah memiliki standby loan yang bisa digunakan untuk mengantisipasi kondisi buruk," katanya (27/8) tanpa merinci nilainya.            

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie