Ekonomi Indonesia pasca-pilkada



Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) tahun ini telah berlalu. Riak konflik yang ditakutkan timbul oleh beberapa pihak tidak terjadi. Memang, ada riak kecil di beberapa daerah. Namun itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Semoga tidak ada riak lebih besar hingga tugas kepala daerah terpilih paripurna. Kini adalah saat untuk berbenah mewujudkan pembangunan ekonomi di daerah agar efek ekonomi pilkada terus berbekas.

Ada tiga agenda utama yang harus diperhatikan oleh kepala daerah. Pertama, implementasi janji politik; kedua, berinovasi untuk meningkatkan kapasitas fiskal APBD dan ketiga, berkolaborasi membentuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Janji politik kampanye tidak ada yang pahit. Semuanya terdengar merdu. Apabila janji-janji tersebut ditepati, maka kita tidak perlu menunggu lama untuk melihat kesejahteraan masyarakat terwujud. Semakin terbukanya informasi publik dan pemilih semakin tahu kualitas calon, maka publik bisa membuat kontrak politik dengan kepala daerah terpilih. Kontrak politik sangat penting, terlebih di era keterbukaan informasi dan pemilih yang semakin cerdas dan kritis.


Keterbukaan informasi memungkinkan masyarakat bisa memantau program-program kepala daerah terpilih. Mulai perencanaan hingga eksekusi program. Pemilih yang semakin cerdas, membentuk masyarakat pemilih dengan preferensi kepala daerah berdasarkan rekam jejaknya, bukan duitnya. Selain itu, ketiadaan konflik ketika pelaksanaan pilkada dan pasca pilkada menjadi bukti akan kedewasaan itu.

Pekerjaan berat kedua adalah inovasi fiskal daerah. Kapasitas fiskal adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37/PMK.07/2016 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.

Hingga saat ini, banyak pemerintah daerah baik pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Menurut PMK Nomor 37/PMK.07/2016 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah terdapat 227 daerah provinsi/kabupaten/kota atau 44,69% daerah dengan kapasitas fiskal rendah, 130 daerah provinsi/kabupaten/kota atau 25,59% daerah dengan kapasitas fiskal sedang, 98 daerah atau 19,28% daerah dengan kapasitas fiskal tinggi dan hanya 53 daerah atau 10,43% yang memiliki kapasitas fiskal sangat tinggi.

Daerah dengan kapasitas fiskal yang rendah tidak memiliki daya ungkit yang kuat untuk pembangunan. Wujud pengungkit pembangunan daerah adalah infrastruktur seperti jalan, jembatan, pasar, irigasi dan bendungan. Keterbatasan belanja modal daerah akibat indeks kapasitas fiskal yang rendah menyebabkan agenda pembangunan infrastruktur terhambat. Rata-rata belanja modal daerah (pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten-kota) selama 2007-2016 hanya mencapai 27,4 %. Angka tersebut belum ideal untuk menjadikan pembangunan daerah melaju dengan pesat.

Melihat kondisi tersebut, kepala daerah terpilih harus menjadi lokomotif perubahan postur penerimaan APBD daerah yang selama ini masih bergantung dari dana pusat. Seperti diketahui, apabila diagregasi, saat ini dana yang mengalir ke APBD daerah di Indonesia mencapai 75%. Dengan angka ini, pemerintah daerah harus memutar otak agar ketergantungan fiskal kepada pemerintah pusat berkurang. Untuk itu, ada tiga hal yang perlu dilakukan: peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), mencari hibah dan mencari skema pembiayaan KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta).

Peningkatan PAD antara lain dilakukan dengan menggali potensi pajak daerah, dan retribusi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah otomatis akan meningkat apabila ada aktivitas ekonomi daerah. Pada kondisi belanja modal yang terbatas, penyelenggaraan event kebudayaan dan atraksi yang bisa menggaet turis bisa menjadi modal awal yang bisa menstimulus ekonomi daerah.

Turis datang, makanan dan minuman menjadi laku, usaha restoran berkembang, parkir kendaraan bertambah, merupakan komponen penambah pajak dan retribusi daerah. Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan, yakni kelembagaan pajak daerah.

Hibah dan skema KPS menjadi nyata apabila kepala daerah aktif mencari dan menginisiasinya. Bukan sebaliknya, pemerintah pusat yang nguprek-nguprek pemerintah daerah. Inisiasi hibah dan KPS memerlukan visi kepala daerah yang melampaui periode lima tahunan. Hal inilah yang menjadi tantangan pemerintah daerah. Stimulus fiskal seperti variabel tambahan pada besaran DAK bisa menjadi pemantik bagi pemerintah daerah untuk berkreasi. Semakin inovatif dalam inovasi pembiayaan daerah, semakin tinggi insentif DAK nya.

Saatnya kolaborasi

Terakhir, kolaborasi antar kabupaten/kota. Kolaborasi ini ditujukan untuk membentuk pusat pertumbuhan baru dengan memanfaatkan potensi masing-masing daerah. Tujuan jangka panjangnya adalah menahan laju ketimpangan antar daerah serta menekan urbanisasi yang terfokus pada satu wilayah, seperti kawasan Jabodetabek. Kolaborasi antar daerah salah satunya terjalin antara wilayah pembangunan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) di wilayah barat daya Provinsi Jawa Tengah.

Purbalingga telah tumbuh menjadi kabupaten dengan industri yang melaju signifikan dibandingkan dengan kabupaten sekitarnya yang salah satunya berkat industri rambut palsu (wig dan bulu mata). Selama 2012 2016, pertumbuhan sektor industri di Purbalingga mencapai 6,8%, melebihi pertumbuhan ekonominya sebesar 5,2%. Secara geografi, Kabupaten Purbalingga berada di antara Kabupaten Cilacap-Banyumas dan Kebumen-Banjarnegara. Pas sebagai pusat pertumbuhan baru.

Semakin berkembangnya industri rambut palsu di Purbalingga, berkonsekuensi kepada semakin meningkatnya permintaan tenaga kerja yang di suplai dari kabupaten sekitar. Di sinilah kolaborasi awal terjalin. Pada tahap selanjutnya, kabupaten/kota sekitar Purbalingga, bisa menyediakan akomodasi wisata, bahan pangan bagi pekerja dan keperluan industri di Purbalingga. Namun demikian, kolaborasi antar daerah di Indonesia secara umum masih terkendala oleh ego sektoral. Ego sektoral ini diperparah dengan adanya segregasi partai pengusung kepala daerah masing-masing.

Pada akhirnya, pembangunan daerah sangat tergantung pada kreativitas kepala daerah serta rasa legowo para pejabat di daerah terhadap ego sektoral serta partisipasi masyarakat. Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan adalah peran pemerintah pusat dalam rangka memfasilitasi kreativitas kepala daerah serta menularkannya ke kepala daerah lain.•

Rusli Abdulah Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi