KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mulai memberikan tambahan bantuan sosial (bansos) sosial sebesar Rp 24,17 triliun untuk menjaga daya beli masyarakat. Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai, anggaran bansos yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp 24,17 triliun belum ideal untuk membantu masyarakat miskin dan rentan. Ia menyebut, idealnya pemerintah harus menggelontorkan tambahan bansos senilai Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun untuk mengkaver kelas menengah rentan, pekerja informal dan para pelaku UMKM yang terdampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Bhima menyarankan pemerintah jangan hanya fokus untuk memberikan bantuan sosial (bansos) kepada orang miskin saja atau 40% kelompok pengeluaran terbawah. Namun juga kelas menegah rentan yang jumlahnya 115 juta orang juga perlu dilindungi oleh dana kompensasi kenaikan harga BBM. "Tidak bisa berhenti pada program keluarga harapan (PKH) atau BLT, tapi para pekerja yang upah minimumnya cuma naik 1% perlu dibantu dengan skema subsidi upah," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (30/8).
Baca Juga: Hati-hati, Kepala BPS Ingatkan Kenaikan BBM Bisa Menyulut Angka Kemiskinan Ia juga menyoroti penyaluran bansos yang seringkali bermasalah mengenai pendataan dan kecepatan eksekusi. Misalnya apabila BBM akan naik pada bulan September, maka bansos kompensasi idealnya akhir Agustus harus sudah dicairkan semuanya. Bhima menambahkan, subsidi upah belum bisa seluruhnya menjangkau pekerja di sektor informal. Data tenaga kerja Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022 mencatat, pekerja disektor informal menembus 81,3 juta orang atau naik 0,35% dibanding posisi Februari 2021. "Pekerja informal ini mau disupport dengan bansos apa? Sedangkan masalah pendataan harus cepat sebelum rencana kenaikan BBM subsidi dilakukan," katanya. Menurutnya, yang paling efektif saat ini adalah menaikkan terlebih dahulu upah minimum setara atau tidaknya 5% sampai dengan 6%. Kemudian, apabila BBM benar-benar naik maka upah minimum setidaknya naik 7%. Bhima menegaskan, jika pemerintah nekat menaikkan harga BBM sementara perlindungan berupa upah minimum nya kecil kenaikannya, maka daya beli pekerja akan merosot tajam. Selain itu, hal tersebut tidak akan bisa dikaver melalui bantuan subsidi upah yang hanya sekali diberikan, mengingat efek kenaikan harga BBM bisa sampai tahun depan dirasakan. Sebelumnya, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk memberikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat bukan berasal dari anggaran subsidi BBM, melainkan dari anggaran bantuan sosial. "Untuk anggaran itu, saya pastikan anggaran bansos, bukan dari anggaran subsidi BBM. Jadi memang anggaran subsidi itu sudah ada Rp 502,4 triliun , itu bansos ada anggarannya sendiri," ujar Isa kepada awak media, Senin (29/8) kemarin.
Ia menjelaskan, dana bansos yang sebesar Rp 24,17 triliun tersebut berasal dari tambahan anggaran yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp 18,6 triliun pada bulan Mei yang lalu serta berasal dari cadangan lain, sehingga totalnya mencapai Rp 22 triliun. Sementara itu, sisa anggaran yang sebesar Rp 2 triliun tersebut merupakan earmarking dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH), sehingga nilainya mencapai Rp 24 triliun.
Baca Juga: Sri Mulyani Prediksi Anggaran Subsidi Tembus Rp 698 Triliun Hingga Akhir 2022 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat