Ekonomi loyo, China tekan anggaran militer tahun ini



KONTAN.CO.ID - BEIJING. China akan menekan anggaran belanja pertahanan di tahun 2019 ini. Keputusan ini diambil sebagai akibat dari perlambatan ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Dilansir dari AFP, pemerintah China akan menganggarkan belanja sebesar 1,19 triliun yuan atau setara US$ 177,6 miliar untuk urusan pertahanan pada tahun 2019. Alokasi tersebut hanya naik tipis dari anggaran pada tahun 2018 yang sebesar 1,11 triliun yuan.

Anggaran militer China di tahun ini di antaranya akan dipakai untuk meningkatkan perangkat keras bagi dua juta Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China. Selain itu, anggaran tersebut juga termasuk untuk pengembangan pesawat tempur siluman, kapal induk dan persenjataan lainnya.


Beijing juga meningkatkan retorikanya terhadap setiap gerakan kemerdekaan di Taiwan dan terus menegaskan klaim teritorialnya yang luas di Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur yang masih disengketakan.

"Pemerintah akan melakukan upaya lebih lanjut untuk memastikan kesetiaan politik dari angkatan bersenjata," kata Perdana Menteri Pertahanan China Li Keqiang dalam pidatonya di depan parlemen.

Li mengatakan pemerintah juga akan memperkuat pelatihan militer dan dengan tegas melindungi kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan China.

Meski turun, tapi anggara militer China masih berada di posisi kedua sebagai yang terbesar di dunia setelah Amerika Serikat. Namun selisih anggaran antara kedua amatlah jauh, dengan alokasi miliki AS mencapai US$ 716 miliar.

Kondisi ekonomi China sejak tahun lalu memang diterpa berbagai masalah. Untuk tahun ini, pemerintah juga memangkas proyeksi pertumbuhan menjadi 6%.

"Pengeluaran militer Tiongkok dikoordinasikan dengan pertumbuhan PDB Tiongkok secara tahunan," kata James Char, seorang pakar militer di Universitas Teknologi Nanyang Singapura.

"China memiliki prioritas nasional lain dan ekonomi nasional yang terlalu terikat militerisasi dapat merampas sumber daya yang sangat dibutuhkan pemerintah, seperti yang terjadi pada bekas Uni Soviet," kata Char.

Editor: Tendi Mahadi