JAKARTA. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia mulai membawa hasil. Inflasi setahun terakhir hingga September lalu mereda ke level 8,4% dari sebelumnya 8,79% di bulan Agustus 2013. Data lain seperti neraca perdagangan Agustus 2013 juga menunjukkan sedikit perbaikan, yakni surplus US$ 132,5 juta. Meski neraca ini berpotensi membengkak lagi di ujung tahun. Data positif inilah yang seharusnya menjadi bahan Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) untuk mengerem beleid moneter ketat. BI tidak perlu lagi mengerek bunga acuan atau BI rate pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang akan berlangsung pada Selasa (8/10) besok.
Apalagi BI rate sudah di level tinggi 7,25% setelah naik 150 basis poin sejak Mei 2013. BI juga sudah membuat aturan pengetatan kredit sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia ikut merasakan dampak perlambatan pada tahun ini. Jika bank sentral memaksakan kenaikan BI rate, keputusan tersebut akan berdampak buruk bagi sektor perbankan. Bukan tak mungkin, kenaikan BI rate ini berperan menaikkan kredit macet atau non performing loan (NPL). Maklum, lazim terjadi, BI rate naik, bank sontak menaikkan bunga kredit. "Apalagi kenaikan BI rate sebanyak empat kali sepanjang tahun ini sudah berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Dian Ayu Yustina, Ekonom Danamon, pekan lalu. Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengakui, deflasi sebesar 0,35% pada September lalu memang mengejutkan. Maklum sejak tahun 2001 tidak pernah terjadi deflasi pada bulan September. Toh, ini menunjukkan ekonomi Indonesia mulai membaik. Tren positif ini diprediksikan akan berlanjut kembali pada bulan Oktober ini. Ini makin memperkuat dasar BI rate belum perlu naik. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual memprediksikan, apabila suplai barang bisa terjaga, pada Oktober ini bisa terjadi deflasi lagi. Meskipun, biasanya harga barang kembali melonjak menjelang akhir tahun.
Begitu pun tren rupiah. Memang, akhir pekan lalu, kurs tengah rupiah di BI berkutat di level Rp 11.556 per dollar AS. Tapi, secara umum rupiah dalam tren menguat. Tapi, ekonom Indef Enny Sri Hartati mengingatkan, agar pemerintah tidak cepat berpuas diri. "Ancaman defisit perdagangan tetap ada karena surplus di Agustus karena minimnya produksi," katanya. Lagi pula, tekanan dari luar negeri belum mereda. Amerika Serikat masih berkutat dengan krisis anggaran. Dengan berbagai faktor itu, sebaiknya BI mengirit amunisi. Jika situasi Indonesia genting lagi, BI masih memiliki simpanan amunisi, termasuk beleid kenaikan BI rate. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie