JAKARTA. Janji Presiden Joko Widodo mengerek pertumbuhan tinggi tahun depan akan sulit terwujud. Sebab, Bank Indonesia (BI) masih akan mempertahankan kebijakan moneter ketat. Dalam forum jamuan makan malam tahunan BI dengan bankir atawa Bankers Dinner, BI mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga acuan tahun depan. Alhasil keputusan menaikkan BI rate 0,25% jadi 7,75% Selasa (18/11) menjadi awal kebijakan bunga tinggi tahun depan. BI memilih menjaga hot money agar tetap bertahan di Indonesia saat bunga di Amerika Serikat (AS) naik paling cepat pada pertengahan tahun depan. "Bagi Indonesia, normalisasi kebijakan ekonomi moneter AS berimplikasi berkurangnya aliran modal masuk," ujar Gubernur BI Agus Martowardojo,Kamis (20/11). Menurut BI, aliran hot money bermanfaat bagi pembiayaan fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan. Hingga pertengahan November, aliran dana yang masuk di pasar keuangan mencapai Rp 177 triliun, setara US$ 15 miliar. Nilai ini adalah nilai terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Alhasil, jika terjadi kenaikan suku bunga AS, aliran dana ini bisa menggucang pasar keuangan Indonesia. Pasokan valas bisa terkuras. Rupiah ikut terguncang.
Dengan alasan ini pula, bank sentral akan mempertahankan ekonomi ketat hingga tahun depan. Ini tentu kontradiktif dengan rencana Jokowi menggeber perekonomian agar tumbuh hingga 7%. Apalagi, selain dana pemerintah, pertumbuhan ekonomi ditopang kredit bank. Dengan bunga acuan tinggi, bunga kredit dipastikan akan ikut melesat. Kondisi ini akan membuat ekspansi perusahaan terhambat. Daya beli konsumen ikut lesu darah. Jika ini terjadi, keinginan mendongkrak pertumbuhan lebih tinggi jelas akan terhambat. Dalam prediksi BI, kredit bank tahun depan akan tumbuh 15%-17%, sama dengan tahun ini. Dengan ekspansi kredit perbankan sebesar itu, pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya 5,4%-5,8% dan inflasi 4%, plus minus 1%. Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, BI memang berpeluang menaikkan suku bunga acuan semester I 2015 demi mengantisipasi kebijakan AS. Kebijakan ini akan semakin menekan sektor riil. Pertumbuhan ekonomi bisa tertekan karena konsumsi rumah tangga ikut meloyo.